Kali Ini Ia Benar
Bagaimana rasanya ketika peran seorang ibu dan isteri dibandingkan dengan pezina? Ibu versus pezina. Bagai membandingkan terang cahaya bulan dengan lilin. Yang satu dianggap lebih bernilai dibanding yang lain. Mengapa kedua hal tersebut seolah bisa disandingkan? Kita bisa mengukur sejauh mana pemikiran umat, dengan melihat reaksi mereka terhadap fakta yang ada di sekitar mereka.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, pemain FTV, VA terciduk tim kepolisian Surabaya dalam penggerebekan kasus prostitusi online pada Sabtu (5/1/2019), Tribunjakarta (8/1/2019). Berbagai spekulasi bermunculan. Sebagian ingin kasus ini dituntaskan. Sebagian lagi apatis, membiarkan, sebab mafhum bahwa demokrasi memang mesin penghasil kerusakan. Akan tetapi sebagian lainnya malah pro terhadap perbuatan memalukan tersebut.
Salah satunya ANF, gadis belia pelaku plagiat beberapa waktu lalu. Kali ini kembali melontarkan pernyataan miring pada salah satu akun media sosialnya. Dia menulis ‘Saya justru penasaran bagaimana VA membangun value atau nilai dirinya. Sehingga orang-orang mau membayar di atas harga pasar reguler. Seperti produk Apple.Inc atau tas Hermes. Kita bisa belajar dari sana. Padahal seorang isteri saja diberi uang 10 juta saja sudah merangkap jadi koki, tukang bersih-bersih, baby sitter dan lainnya. Lalu yang sebenarnya murahan itu siapa’, (6/1/2019).
Bukan hanya ANF yang bersuara sumbang. Sejumlah besar follower-nya yang merupakan manusia produk liberalisme, berpikir hal yang sama. Membandingkan pezina dengan peran seorang isteri atau ibu. Beranggapan bahwa peran sebagai ibu, dan isteri merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Dan pernikahan adalah sesuatu yang dapat mendiskriminasi perempuan. Alhasil seorang isteri lebih murah harganya dibanding pezina.
Gagal paham pengusung ide batil. Perempuan selalu dianggap kaum rendahan dan termarjinalkan dari kehidupan publik. Maka akhirnya program pemberdayaan perempuan, Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang digagas Barat, diterima sebagai solusi mengatasi problem perempuan di berbagai negeri Muslim tak terkecuali Indonesia. Mereka berasumsi dengan setara, maka perempuan bisa melepaskan dirinya dari tekanan ketidakadilan.
Diawali sejak pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi hasil konferensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW, 1979) yang dikeluarkan melalui UU No.7 tahun 1984. Hal ini menjadi acuan bagi penguasa yang mengemban liberalisme, sebagai sebuah penyelesaian terhadap segala macam persoalan perempuan. Dari mulai kemiskinan, pendidikan, masalah kesejahteraan, pelecehan seksual dan lainnya.
Pemikiran dangkal yang mereka serap, tidak mampu melihat bahwa fakta buruk yang menimpa perempuan adalah akibat penerapan sistem yang batil. Hasil buah pikir liberal. Menganggap sumber kesulitan yang menimpa perempuan akibat Islam. Perempuan menjadi nomer 2, subordinat, penyebab mereka menderita. Merekapun menyerang syariat Islam karena dianggap diskriminatif terhadap perempuan.