Ketok Palu Tarif Iuran Baru BPJS Kesehatan
Akhirnya ketok palu Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 yang berisi Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah diteken Jokowi pada 24 Oktober 2019.
Sekalipun gelombang aksi besar-besaran dari berbagai kalangan menolak kenaikan tersebut, tetap saja negara tidak mampu memberi jaminan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat. Mulai awal tahun 2020, masyarakat bersiap menyesuaikan diri dengan tarif baru besaran iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kini tarif iuran terbaru kelas Mandiri III dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik, dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan. Iuran kelas mandiri II, naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per peserta per bulan. Terakhir, iuran kelas I melonjak dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan.
Hal ini tentu membuat harapan untuk hidup sejahtera semakin jauh dari angan. Sebab rakyat harus merogoh kantongnya dalam-dalam untuk mendapat layanan kesehatan bagi dirinya. Dengan rakyat membayar dan disertai sanksi jika menunggak, itu artinya tidak ada jaminan kesehatan dari negara. Rakyatlah yang menjamin kesehatannya sendiri.
Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi. Di bumi pertiwi yang kaya ini, rakyat bersimbah peluh dan air mata untuk mendapatkan pemenuhan hak-haknya. Padahal jika dikelola dengan benar, seluruh kebutuhan rakyat akan tercukupi. Di negeri yang melimpah sumber daya alamnya, semestinya rakyat tak sulit hidup sejahtera.
Isu kesehatan menjadi sangat vital. Sebagai informasi, pada 2014, keuangan BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp1,9 triliun. Selang setahun, defisit melonjak menjadi Rp9,4 triliun. Pada 2016, defisit ditekan menjadi Rp6,7 triliun. Tahun lalu, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp13,8 triliun.
Demi mengatasi defisit keuangan tahunan eks PT Askes (Persero) tersebut Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bakal mengevaluasi daftar penyakit dan tindakan yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.(Cnnindonesia, 30/10/2019)
Salah kelola oleh penguasa, rakyat yang harus menanggung beban. Jika yang terjadi hal yang demikian, maka gambaran pola yang sama masih akan terjadi pada rakyat, yaitu adanya diskriminasi layanan kesehatan, disertai rumit dan panjangnya prosedur. Sekalipun ada janji akan memperbaiki layanan.
Ditambah lagi dalam versi World Health Organization (WHO), Indonesia bahkan tidak masuk 50 peringkat besar negara tersehat di dunia. Jika kemudian iuran naik, maka rakyat menjadi semakin sulit mengakses kesehatan. Pada akhirnya kesehatan menjadi barang mahal di negeri ini, rakyat tidak mampu menjangkaunya.
Sementara di sisi lain defisit berdampak pada beberapa Rumah Sakit Daerah. Mereka mengalami krisis persediaan alat kesehatan siap pakai, stok darah, hingga obat-obatan. Salah satu yang terkena dampak tersebut adalah Rumah Sakit Daerah Guning Jati (RSDGJ) Cirebon. Dilansir dari Radar Cirebon, jika tidak dicarikan jalan ke luar, November RSDGJ akan bangkrut.
Bahkan kinerja petugas medis dan manajemen pun belum sepenuhnya menerima jasa pelayanan (jp). RSDGJ Cirebon berada di ujung tanduk. Stok obat menipis sebab distributor melakukan locking penyetopan pasokan, begitu pula stok alat kesehatan (alkes) siap pakai. Kondisi ini menghambat kerja dokter saat menangani pasien di golden period. Bila tidak ditangani segera di awal, akan berakibat fatal bagi pasien.
Maka, kembali pada Islam adalah sebaik-baik pengaturan umat. Dalam sistem Islam, layanan kesehatan mudah diperoleh dan cuma-cuma. Rakyat tidak perlu membayar untuk mendapatkan pengobatan. Selama 13 abad lamanya umat berjaya di bawah pemerintahan yang menggunakan keimanan sebagai landasan pengurusan umat.
Dalam Islam, tanggung jawab negara adalah menjamin hak umat. Islam menetapkan kebutuhan atas pangan, papan dan sandang sebagai kebutuhan pokok tiap individu rakyat. Sedangkan keamanan, pendidikan dan kesehatan sebagai hak dasar seluruh rakyat.
Oleh sebab itu negara wajib memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyat. Begitu pula halnya dengan jaminan kesehatan. Negaralah yang bertanggung jawab menyediakan rumah sakit, fasilitas kesehatan hingga obat-obatan.
Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw, “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari).
Pembiayaannya dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya.
Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, secara berkualitas.
Mendapatkan kesejahteraan dan mengembalikan kemuliaan umat, hanya bisa terjadi dalam penerapan Islam. Di sana ada jaminan kesejahteraan hasil dari ketaatan penguasa kepada Allah, dengan mengikuti panduan Rasulullah Saw. Inilah sebaik-baik sistem kehidupan yang harus kita perjuangkan. Allaahumma ahyiina bil Islaam.
Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon