BUMN Rasa Korporasi Swasta di Rezim Neolib
PT Garuda Tbk (GIAA) baru-baru ini terkena kasus dugaan penyelundupan. Tak tanggung-tanggung penyelundupan tersebut berupa onderdil moge Harley Davidson dan Sepeda Brompton. Setelah diselidiki, kedua barang ilegal tersebut ternyata milik Direktur Utama Garuda, Ari Askhara. Akhirnya ia harus hengkang dari jabatannya. (Jawa Pos, 7/12/19)
Kasus ini bukan yang pertama kali kita dapati dari perusahaan ber-plat merah. Kasus korupsi terus mendera BUMN kita. Lebih miris lagi, pelakunya adalah direktur BUMN itu sendiri. Sebagaimana direktur Krakatau Steel yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK karena suap. Kasus yang sama menjerat Direktur PLN dalam kasus suap PLTU Riau 1. Belum lagi masalah investasi Pertamina yang justru mengantar mantan direkturnya, Karen Agustiawan ke jeruji besi. Tak ketinggalan pula kasus dari Dirut PT Garuda Tbk yang merugikan negara sekitar Rp532 juta hingga 1,5 miliar. (CNN, 5/12/19)
Padahal, BUMN adalah perusahaan negara yang mengelola aset negara dan harta milik umum memiliki fungsi sebagai alat negara untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Pada kenyataannya saat ini BUMN diperlakukan seperti ‘korporasi swasta’ yang mengedepankan bisnis semata atau yang saat ini dikelola dengan konsep ‘bussiness to business’. Atau bisa dibilang BUMN rasa korporasi swasta di rezim neolib. Model pengelolaan seperti ini akan membuat perusahaan melupakan tujuan dari hakikat kehadiran BUMN untuk negeri.
Penetapan target pencapaian keuntungan layaknya korporasi -padahal jenis usahanya adalah hajat publik dan bersifat monopolistic- menyebabkan pengelolanya berkesempatan menyalah gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. Hal itu terjadi kesekian kali pada BUMN kita. Beberapa kasus yang menjerat direksi perusahaan plat merah akibat dari menyalahgunakan wewenang dan peluang itu ada karena sistem pengelolaan BUMN yang bermodel korporasi swasta.
Apabila kita amati dan kita telisik lebih jauh, bukan titik terang yang kita dapati, melainkan rasa sedih. Wajah buruk manajemen BUMN ini tidak bisa hanya diatasi dengan kecaman sanksi tegas dan larangan hidup mewah semata. Sebagaimana yang disampaikan oleh Erick Thohir yang mengecam kehidupan mewah para direksi. Namun, hal utama yang menjadi akar dari permasalahnnya adalah model manajemen korporasi yang ditetapkan dalam sistem neolib saat ini.
Pengelolaan Harta Publik dalam Islam
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal; padang, air dan api.” (HR Abu Dawud)
Islam telah mengatur harta kepemilikan secara rinci dan jelas. Mana milik individu, untuk masyarakat dan untuk negara. Semua telah termaktub dalam kitab fiqh iqtishadiy yang bersumber dari Kalam Ilahi dan Sunnah Rasul-Nya. Syariat Islam yang mengatur sedemikian rupa agar kemaslahatan muncul di muka bumi. Karena aturan ini berasal dari Sang Pencipta Bumi itu sendiri.
Dalam konteks ini adalah harta milik umum (milkiyah ammah), Islam sudah menetapkan aturan terkait hal ini, baik dalam pengelolaannya, pengembangannya dan mendistribusikannya. Semua harus dilakukan sesuai aturan syariat dan itu merupakan konsekuensi keimananan. Yakni iman kepada Allah sekaligus menjadikan Allah sebagai Ilah (Tuhan) dan al-Mudabbir (pengatur) seharusnya sudah dipahami pada setiap orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai Muslim.
Salah satu aturan dari-Nya adalah menjadikan harta kepemilikan umat atau masyarakat dikelola, dikembangkan dan didistribusikan sesuai dengan syariat Islam dengan prinsip pelayanan untuk umat dan memprioritaskan kepentingan publik. Sebagai refleksi dari keimanan yaitu taat pada syariat, maka keridhaan mudah kita jemput dan kemaslahatan serta rahmat bisa kita raih.
Seharusnya publik negeri ini dapat hidup mulia dan sejahtera. Allah SWT mengaruniakan Indonesia kekayaan yang melimpah. Tambang, migas, emas, perak, alumunium, nikel, besi, tembaga, batu bara, seng, uranium, plumbum dan lainnya dalam jumlah seperti air mengalir (sangat banyak) adalah milik publik. Ketika diurus secara benar tidak saja bangsa ini sejahtera, tetapi juga memiliki kekuatan finansial raksasa bagi penyelenggaraan kemashlahatan mereka.
Sebagaimana contoh ketika syariat diterapkan secara kaffah di muka bumi pada pemerintahan Umar bin Abdul ‘Aziz dalam bingkai Khilafah. Pada pemerintahan Beliau, pengelolaan harta milik publik hanya diatur sesuai dengan syariat. Apa yang masuk dan keluar dari baitul maal harus berdasarkan aturan Islam. Hingga kita temukan pada masa beliau, umat dan masyarakat baik Muslim dan non-Muslim merasakan kemakmuran dan kesejahteraan, bukan hanya kemashlahatan yang diraih tetapi juga berkah. Alam memberkati kehidupan yang berlangsung sesuai dengan aturan Sang Penciptanya.
Hal ini yang kita tak dapati sekarang ini. Fakta BUMN yang sebagai alat pengelola harta publik yang kini berwajah buruk. Bahkan, kini diperparah dengan program neolib holding BUMN tambang. Dan juga ambisi lain me-holding BUMN yang lain. Tidak lagi ada yang tersisa, hampir seluruh kekayaan tambang berlimpah dikuasai swasta dan asing. Karenanya, dapat dipastikan ke depannya kedaulatan bangsa ini semakin terancam dan publik semakin sengsara. Kebaikan semu yang dirasakan sesaat oleh sejumlah orang jelas tidak akan menghilangkan bahaya besar ini.
Safina Zuhairoh
Kampung Kalibata, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jaksel