SUARA PEMBACA

Secara Hakiki, Benarkah Kita Sudah Merdeka?

“Bulan ini bangsa Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan ke-75 tahun dengan tema Indonesia Maju. Tetapi nasib guru honorer belum merdeka.”

Itulah yang Elivina Nawu katakan menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-75. Guru honorer di Sekolah Dasar Inpres (SDI) Ajang, Desa Persiapan Ajang, Kecamatan Kota Komba, sejak 2011 itu, mengaku hanya menerima gaji Rp200 ribu per bulan.

Sedihnya, sejak 2018 gaji tersebut tak lagi diterimanya. Dirinya hanya menerima tambahan penghasilan sebesar Rp 500 ribu per bulan dari Pemerintah Daerah Manggarai Timur. Itu pun sulit ditebak kepastian pencairannya. Menurut Elivina, uang tamsil itu kadang baru cair setelah delapan bulan. Itu pun hanya uang tiga bulan pertama yang diterimanya. (kompas.com, 8/8/2020).

Cerita Elivina sungguh kontras dengan kondisi TKA asal China yang dengan mudahnya keluar masuk ke negeri ini. Meraup pundi-pundi rupiah dan meraih kesejahteraan di tengah kondisi rakyat yang diterjang gelombang PHK massal. Nasib TKA China ini juga jauh lebih beruntung daripada nasib ribuan guru honorer K2 yang dijanjikan menjadi PNS oleh penguasa. Jadi, benarlah apa kata Elivina, sejatinya mereka belum merdeka.

Berbicara tentang kemerdekaan, tentu tidak terlepas dari penjajahan. Sebab suatu bangsa disebut merdeka bila terlepas dari penjajahan. Baik secara fisik maupun secara ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan, serta pemikiran.

Dulu kekuatan militer digunakan untuk menduduki suatu wilayah. Kini, penjajahan gaya lama telah ditinggalkan. Pasalnya, penjajahan secara militer terbukti begitu mudah membangkitkan perlawanan dari penduduk jajahan. Sebab rakyat yang secara langsung merasakan penindasan dan pengeksploitasian. Sehingga ditempuh model penjajahan gaya baru dimana pihak terjajah tidak sadar bahwa wilayahnya tengah dijajah. Penjajahan gaya baru ini sama berbahaya dengan penjajahan gaya lama. Bahkan boleh jadi lebih berbahaya.

Penjajahan gaya lama maupun gaya baru sejatinya menjadi metode baku negara-negara kapitalis untuk menguasai dan menyebarluaskan ideologinya. (An-Nabhani, Mafahim Siyasi, 2005). Penjajahan gaya baru hari ini menjadi upaya kapitalisme global untuk mengambil kontrol atas ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan hankam, serta pemikiran di negeri jajahan. Mirisnya, semuanya itu dilegalkan lewat undang-undang.

Inilah cerita Indonesia hari ini. Berada dalam cengkeraman penjajahan gaya baru ala kapitalisme. Berupa kontrol dalam segala aspek kehidupan yang membelenggu rakyat.

Di bidang ekonomi, pandemik telah nyata menghantam ekonomi negeri. Ironisnya, kebijakan plin-plan penguasa semakin menambah ekonomi rakyat semakin sulit. Fakta berbicara, kebijakan PSBB yang tidak jelas dan tidak diimbangi dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Alih-alih menekan penyebaran Covid-19, malah menekan pendapatan rakyat. Alhasil PHK massal di mana-mana, pendapatan rakyat pun turun drastis.

Berbagai stimulus pun gagal mendongkrak ekonomi. Sebaliknya banyak kebijakan yang diskriminatif dan salah sasaran. Contoh terbaru, BLT Rp600 ribu untuk pekerja swasta yang bergaji Rp5 juta ke bawah. Dana yang digelontorkan pun pemerintah disebut sebesar Rp31 triliun. Tentunya dana ini akan lebih bermanfaat untuk guru honorer, buruh yang di-PHK massal dan anak sekolah yang tidak punya hp dan kuota selama belajar daring.

Utang luar negeri pun kian ngeri. Menjelang HUT ke-75 RI, Indonesia mencatat terjadi peningkatan utang luar negeri. Angkanya mencapai 408,6 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekira Rp 6.047 triliun (kurs 14.800 per dollar AS). (tribunnews.com, 15/8/2020). Alhasil, jeratan utang semakin menjerumuskan negeri ini dalam naungan hegemoni kapitalisme global.

Di saat pandemik, bidang kesehatan yang menjadi sektor vital pun gagal diurus dengan baik. Akses kesehatan semakin susah dan dikomersialisasi. BPJS Kesehatan naik. Rapid test dan swab test mahalnya selangit. Harga alkes membumbung tinggi. Rakyat pun kian frustasi.

Pemerintah pun dinilai kurang peduli dalam mengurus nasib para dokter dan nakes. Imbasnya, pejuang di garda terdepan ini, satu persatu menjemput syahid. Ironisnya, di saat nyawa dokter dan nakes ini berjatuhan. Pemerintah lewat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah sedang mengkaji wacana impor dokter asing. (detik.com, 14/8/2020).

Alih-alih disibukan memutus transmisi dan menghentikan pandemik. Pemerintah malah disibukan dengan proyek kerja sama vaksin Covid-19 dengan Sinovac. Padahal kerja sama dengan Sinovac asal China ini lagi-lagi berorientasi untung rugi, bukan untuk kepentingan publik. Alhasil, bidang kesehatan pun tidak lepas dari belenggu kapitalisme.

Bidang pendidikan tidak kalah penting menjadi sorotan. Sebelum wabah mengecap pendidikan sudah susah. Saat wabah, pendidikan tidak kalah susah. Rakyat semakin sulit mengakses pendidikan karena pembelajaran jarak jauh (PJJ). Internet pun menjadi barang mahal kala wabah.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button