Anomali Penanganan Pandemi Corona
Nyaris setahun pandemi Covid-19 menemani aktivitas rakyat Indonesia, juga rakyat dunia. Penyebaran virus covid-19 yang cepat dan mematikan, memaksa manusia untuk beradaptasi dan mengubah kebiasaan hidupnya. Protokol kesehatan 3M: memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan; menjadi agenda wajib bagi warga masyarakat.
Razia pun dilakukan oleh aparat keamanan, untuk menertibkan masyarakat agar terbiasa menggunakan masker. Lumayan hasilnya, setidaknya di jalan-jalan umum tak lagi terlihat yang tak menggunakan masker. Meskipun di pasar dan gang-gang kecil masih banyak yang tak memakai masker.
Yang agak sulit ditertibkan adalah menjaga jarak. Apalagi setelah PSBB selesai, dibukanya tempat wisata, mal, cafe, gym, bioskop, kelab malam, hotel, swimming pool. Tak bisa dihindari berkumpul dan bertemunya orang-orang hanya untuk nongkrong dan hiburan juga liburan.
Seperangkat aturan telah dibuat untuk tetap patuh protokol kesehatan. Mulai dari UU Kekarantinaan Kesehatan tahun 2018. UU ini memberikan ancaman hukuman pidana dengan denda 100 juta atau tahanan satu tahun jika melanggar. Adapula peraturan tentang PSBB dan Peraturan Pemda yang berhubungan tentang protokol kesehatan.
Semua aturan tersebut seakan tak banyak berefek. Hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, aturan saling menegasi. Di sisi lain ingin menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Namun di satu sisi ingin roda perekonomian segera berputar normal. Dengan dikeluarkannya libur panjang dan cuti bersama, dibukanya tempat dan fasilitas pariwisata, diduga menjadi pemicu penukaran Covid-19.
Kedua, diduga kuat adanya tebang pilih penegakkan aturan. Kedatangan HRS pada 10 November lalu dan disambung dengan acara maulid serta pernikahan anak beliau, menjadi sorotan penegak hukum. Untuk menunjukkan ketegasannya, aparat segera menyemprotkan cairan desinfektan, mengadakan tes rapid massal di daerah Petamburan. Daerah markaz FPI. Dan dengan cepat, berkas pelanggaran protokol kesehatan ini telah ada di tangan polisi dan menetapkan beliau sebagai tersangka.
Sedangkan di belahan bumi Indonesia yang lain, adalagi calon kepala daerah. Yang notabene anak orang nomor satu di negeri ini, mengadakan kampanye yang menimbulkan kerumunan massa. Dan dengan mudahnya dibela oleh aparat bahwa kerumunan itu telah sesuai UU. Ajaib.