Pemuda Jadi Bucin untuk Apa?
Bucin akronim dari kata budak cinta. Sebutan untuk kawula muda yang hanyut di lautan rasa. Tingkahnya labil dan kadang-kadang-kadang sudah layaknya orang mabuk. Mabuk cinta lupa segalanya. Sampai iman rela kandas, demi cinta katanya. Naudzubillah.
Moral anak bangsa runtuh, bukannya mereka fokus pada mimpi besar, yang ada terlena pada dunia rasa. Pacaran menjadi ukuran kualitas. Siapa yang tak pacaran, kuno dan konservatif.
Berbondong-bondonglah kawula muda lawan jenis. Demi harkat dan harga diri. Bahkan nih, sampai ada yang malabeli mereka yang tak pacaran: abnormal!
Wuih, sarkas banget, kan!
Padahal, kualitas diri bukan ditentukan oleh itu. Apalagi menjadi ukuran kejiwaan seseorang. Seyogyanya, ukurannya itu prestasi yang gemilang. Ada aksi nyata terasa dan memberi maslahat pada terdekat.
Bukan hanya sibuk melempar rayu, lalu sibuk mengoleksi nama mantan. Niatnya untuk gagah-gagahan saja. Agar disebut hebat. Betapapun, prestasi dan menajadi beban orangtua.
Pantas kiranya dipertanyakan, kenapa harus bucin?
Bukankah agama mengajarkan rasa malu. Nabi menyebut rasa malu bagian dari iman. Maksudnya, agar punya moral dan kualitas diri. Malu yang berlandas iman dapat mengerem hal negatif sekaligus memantik optimis mengejar hal yang lebih produktif.
Rasanya perlu kita belajar pada Sahabat Usamah bin Zaid, usia mudanya sudah diangkat menjadi panglima perang. Atau Sahabat Ali bin Abi Thalib yang tak gentar masuk Islam dan siap mengatur risiko yang besar, meski nyawa taruhannya.
Perlu juga belajar kita pada pahlawan bangsa, yang fokus berjuangan. Alih-alih tergoda bucin pada lawan jenis. Padahal ada kesempatan dan ruang membukanya.
Lihatlah, mereka lebih memilih bersahabat dengan buku-buku. Jiwa mereka meronta pada penjajahan dan nasib anak bangsa. Agama pun dibelit oleh macam aturan.
Mereka teriakkan kata merdeka, aktivis muslim tambah dengan Allahu akbar. Ini menjadi daya cemas para pengeruk kekayaan bangsa. Ending-nya, Allah pun anugerahkan merdeka untuk segenap rakyat Indonesia!
Nah, kita hari ini bagaimana? Apa mau fokus sibuk di lembah rasa tanpa mau terpanggil memperbaiki kondisi negeri di banyak lini telah di jarah penjahat kemanusiaan. Abai akan kewajiban juga tak peduli pada aspirasi Islam.
Islam punya cara mengatur perasaan. Ada tempatnya. Tak usah melupakan jati diri sebab hal sia-sia.
Mari, bangun kepercayaan diri. Lihat kondisi suram peradaban, yang mana nilai-nilai Islam mulai dipreteli, mengarah pada menelanjangi diri sebagai Insan kamil.
Betapa rugi diri kita, yang belum memahami tujuan Allah menciptakan kita. Hakikat hidup foya-foya. Melepas atribut agama demi kesenangan semu.
Ayo kawan seiman …
Pacu diri tetap pada jalan-Nya. Hidup hanya untuk, demi, dan hanya untuk-Nya. Semaju apa pun jaman, yakinlah, tanpa iman yang kokoh kita hanya jadi pajangan peradaban. Betapa tingkat!
Kembalilah, pahami iman itu mutiara yang mengantarkan kita pada dermaga kebahagiaan. Kalau tidak, ya wajar galau terus dan gundah harinya. Jadi pemuda bucin, di mana hebatnya? Mikir kuy! Wallahu a’lam. []
Pandeglang, 11/1/2021
Mahyudin An-Nafi
(Pemuda Perindu Surga)