Pilih Tunjangan Hari Raya atau Tunjangan Harian Rakyat?
Peraturan pemerintah tentang THR PNS dan Polri serta pensiunan dan gaji ke-13 sudah disahkan oleh presiden Jokowi. Jumlahnya lebih besar dari tahun sebelumnya dan bagi pensiunan tahun ini pertama kalinya mereka mendapatkan THR. Selain itu, pegawai honorer atau non PNS baik honorer pemrintah daerah atau guru daerah juga dapat. Hal ini menjadi tambahan penghasilan bagi para pegawai. THR untuk pegawai honorer di daerah tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Penyesuaian APBD Tahun 2018. PNS sejak tahun 2016 mendapatkan tambahan gaji yaitu gaji ke-14. Dan hal ini hanya ada di Indonesia dan tidak ada di negara lain. Pemberian gaji 13 dan THR ini memiliki beberapa tujuan. Salah satunya demi meningkatkan kesejahteraan bagi para PNS dan wujud apresiasi pemerintah atas pengabdian kepada bangsa dan negara.
Jika ditilik dari tujuan pemberian gaji 13 dan 14, tentu tujuan ini sangat mulia. Karena memang secara historis, penciptaan kesejahteraan bagi seluruh warga negara merupakan amanat perjuangan kemerdekaan dan tertuang dalam UUD 1945 pasal 33. Tetapi tujuan kesejahteraaan adalah seluruh seluruh warga negara bukan hanya PNS, prajurit TNI, Polri, pejabat negara, pensiunan, pimpinan dan pegawai non PNS pada lembaga non struktural, pegawai honorer non PNS baik pusat maupun daerah, tetapi seluruh warga negara yang berarti semua orang yang hidup dalam negara tersebut.
Jika tujuan negara adalah mensejahterakan seluruh warga negara maka seluruh warga negara dicukupkan kebutuhan pokoknya, baik makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, keamanan dan pendidikan.
Jika kita menelaah kondisi secara umum rakyat Indonesia saat ini, berapa banyak warganya yang berada di bawah garis kemiskinan? Berdasarkan rilis data BPS januari 2018, persentase penduduk miskin pada September 2017 mencapai 10,92% yaitu 26,58 juta orang dengan standar garis kemiskinan Rp387.160,00/kapita perbulan. Jika dibagi dalam 30 hari menjadi Rp12.905,33/kapita perhari.
Coba kita bayangkan, dengan nilai tersebut apakah dapat memenuhi kebutuhan hidup dalam sehari. Nominal standar kemiskinan tersebut terlalu rendah. Dengan kondisi sekarang yang semua serba mahal, kebutuhan hidup tidak hanya makan, masih banyak kebutuhan pokok lain yang harus dipenuhi seperti tempat tinggal, pendidikan, kesehatan yang saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang belum terpenuhi. Kondisi ini tentunya masih menjadi PR bagi pemerintah, dan solusi pemberian THR belum bisa menyejahterakan.
Jika kita kembali melihat kondisi kekayaan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan kondisi alam yang sangat beragam, ada darat dan laut yang sangat luas, tentu saja kaya akan sumber daya alam dan mineralnya. Seharusnya mampu dikelola dengan baik dan benar untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Menurut Kurtubi, pengamat energi, bahwa perkiraan nilai cadangan terbukti dari minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, perak dan seterusnya dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru lagi, yang ketemu saja di perut bumi, nilainya saat ini sekitar Rp200 ribu triliun (https://www.liputan6.com/bisnis/read/812149/indonesia-punya-kekayaan-sda-hingga-rp-200-ribu-triliun). Nilai tersebut jika dikelola dengan baik dapat dipakai untuk melunasi hutang-hutang, membangun Indonesia dan rakyat Indonesia tidak akan ada yang berada dalam garis kemiskinan.
Sebenarnya pangkal permasalahan dari buruknya kesejahteraan rakyat Indonesia atau masih banyaknya yang berada dalam garis kemiskinana adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi yang di negeri ini. Akibatnya, sejak masa Orde baru sampai sekarang kekayaan alam Indonesia telah diserahkan dengan harga sangat murah kepada swasta dan asing melalui berbagai produk Undang-Undang seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, dan sebagainya. Semua Undang-Undang memberikan peranan besar kepada swasta dan kapitalis asing. Semua ini berasas pada kepercayaan para penguasa dan pejabat di Indonesia pada sistem ekonomi liberalisme dan mekanisme pasar. Ditambah lagi dengan mental korup para pejabat yang hanya berfikir untuk kepentingannya sendiri. Akibat lebih lanjut, sebagian besar kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh asing. Sampai terdengar isu bahwa pertamina yang merupakan perusahaan minyak dan gas berbendera merah putih menjadi tamu di negrinya sendiri, karena Pertamina hanya memperoleh secuil hak pengelolaan hulu migas di Indonesia. Hal ini sangatlah ironis.
Bagaimana Islam menyejahterakan warganya
Selama tiga belas abad, kaum Muslim menikmati kemakmuran yang tak tertandingi melalui penerapan syariat Islam. Kemakmuran ini tidak hanya terbatas pada kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, sains, kedokteran, melainkan juga pada semua aspek kehidupan termasuk kesejahteraan sosial, kesehatan dan pendidikan. Bahkan kondisi Negara sedang melemah, tercapainya kesejahteraan warganya, baik Muslim maupun non-Muslim tetap menjadisalah satu fungsi utama negara.
Salah satu hal terpenting dari syariat Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu masyarakat, baik berupa pangan, pakaian, dan tempat tinggal, serta lapangan pekerjaan.
Dalam hal memenuhi kebutuhan pokok, Islam telah mewajibkan kaum laki-laki untuk bekerja mencukupi kebutuhan pokok dirinya, anak, istri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya dalam urutan nasab. Allah swt berfirman, artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” [al-Baqarah:233]
Bagi orang yang tidak mampu bekerja, Islam telah menetapkan nafkah mereka akan dijamin oleh saudaranya dalam hubungan nasab. Jika saudaranya juga tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka beban menafkahi diserahkan kepada negara. Negara Islam dengan baitul maalnya akan menanggung nafkah bagi orang-orang yang tidak mampu bekerja dan berusaha. Rasulullah saw bersabda, yang artinya:
“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Negara selayaknya juga menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, agar rakyat bisa mendapat akses yang mudah untuk bekerja dan berusaha. Rasulullah saw pernah memberi dua dirham kepada seseorang dan bersabda: “Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”
Negara juga harus mendorong rakyatnya agar giat bekerja agar mereka bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Fakta bahwa pemerintahan Islam saat itu telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya tercermin dengan apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Beliau ra, telah membangun suatu rumah yang diberi nama , “Daar al-Daaqiq’ (rumah tepung). Di dalam rumah itu tersedia berbagai macam jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Tujuan dibangunnya rumah itu adalah untuk menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang berhajat sampai kebutuhannya terpenuhi. Rumah itu dibangun diantara jalan antara Mekah dan Syam, ditempat strategis dan mudah dicapai oleh para musafir. Daar al-daqiiq juga dibangun diantara jalan Syam dan Hijaz.
Contoh lain yaitu ketika pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya Sirah Umar bin Abdul Aziz hal. 59 meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata,”Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid dalam Al-Amwal hal. 256 mengisahkan, Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata,”Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.” Umar memerintahkan,”Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.” Abdul Hamid kembali menyurati Umar,”Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.” Umar memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.” Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,”Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang.” Akhirnya, Umar memberi pengarahan,”Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Dari fakta sejarah ini terlihat bagaimana jika sistem Islam diterapkan. Gambaran tersebut bukanlah hanya romantisme sejarah melainkan adalah bagaimana Islam dalam mensejahterakan masyarakat. Maka, sebuah evaluasi dan introspeksi bersama untuk kembali pada penerapan syariat-Nya yang kaffah. Karena saat Islam tegak dalam sebuah institusi negara, jaminan kesejahteraan tidak hanya didapatkan dengan adanya THR menjelang hari raya saja. Tetapi teraktualisasi dengan adanya Tunjangan Harian Rakyat oleh negara. Demikianlah, saat Aturan-Nya diterapkan. Maka lebih memilih THR yang didapatkan pertahun saja ataukah Tunjangan Harian Rakyat?
Sumirah, M.Si
Ibu Pemerhati Masalah Umat, tinggal di Tangsel