SUARA PEMBACA

THR Kok Dicicil, Nasib Buruh Kian Keruh?

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah resmi mengeluarkan Surat Edaran Menaker Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi pekerja/buruh di perusahaan. Menaker menegaskan pengusaha tidak boleh mencicil pembayaran THR buruh dan karyawannya. THR harus diterima secara penuh sesuai haknya.

Surat Edaran Menaker ini berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menaker Nomor 6 tahun 2016 tentang THR bagi pekerja di perusahaan, THR harus dibayarkan sebagai kewajiban pengusaha kepada pekerja. Pernyataan Menaker ini disampaikan dalam konferensi virtual di Jakarta pada Senin (12/4). (sindonews.com, 12/4/2021).

Di hari yang sama, sejumlah buruh dari beberapa serikat pekerja melakukan aksi demonstrasi di Bundaran Patung Kuda, Monas. Dalam aksi tersebut, mereka mendesak pemerintah untuk menetapkan aturan agar perusahaan membayar Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran 2021 secara penuh. Mereka menolak pembayaran THR dilakukan secara dicicil seperti tahun 2020.

Yanti (47), salah satu peserta aksi demo menyebut, tidak alasan bagi perusahaan untuk menunda atau mencicil THR yang menjadi hak buruh. Sebab dalih kerugian yang disebut perusahaan, faktanya adalah keuntungan yang berkurang. Menurutnya, justru nasib buruh akan bertambah keruh, jika THR dicicil sebab kebutuhan hidup menjelang Lebaran makin meningkat. (kompas.com, 12/4/2021).

THR dicicil menambah buruk nasib buruh. THR yang ditunggu-tunggu setahun sekali saat Lebaran kian jauh. Berbagai kebijakan “longgar” yang ada terbukti tidak memihak pada buruh, sebaliknya makin membuat untung para pengusaha. Padahal selama pandemi, kebijakan pemulihan ekonomi nasional tidak sedikit yang menguntungkan para cukong. Salah satunya, mengizinkan perusahaan membayar THR secara dicicil pada Lebaran tahun lalu.

Sengkarut tunjangan hari raya milik buruh, tidak terlepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang diemban negeri ini. Sistem ini terang-terangan memberikan perhatian istimewa kepada para cukong. Sebab negara dalam naungan kapitalisme merupakan fasilitator dan regulator bagi kepentingan para cukong. Tidak heran, jika akhirnya hak dan kepentingan rakyat umum diabaikan dan dikorbankan. Alhasil, kesejahteraan kaum buruh pun hanya utopia belaka.

Kondisi ini tentu berbeda dengan mekanisme sistem Islam membangun kesejahteraan rakyatnya. Sistem Islam tidak mengenal Tunjangan Hari Raya (THR). Sebab paradigma Islam memandang bahwa menjadi kewajiban penguasa menjamin kebutuhan dasar rakyat. Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat ini pun tidak hanya untuk sekelompok rakyat, tetapi untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali. Kebutuhan ini dipenuhi oleh negara tidak hanya pada saat hari raya, tetapi juga setiap harinya.

Negaralah yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat. Sebagai pelaksana praktis penerapan syariah Islam secara kafah, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Saat pandemi terjadi seperti saat ini, negara juga wajib menjamin terbukanya lapangan kerja seluas-luasnya untuk para pejuang nafkah. Menjadi kewajiban negara pula menjamin terselenggaranya pelayanan dasar rakyat yakni pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Kepemilikan umum dan sumber pemasukan negara lainnya yang dikelola negara, tidak hanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, tetapi juga kebutuhan sekundernya. Fasilitas hiburan dan wisata dibangun di ruang-ruang publik dengan akses murah dan berkualitas, bahkan gratis.

Fasilitas hiburan dan wisata ini pun lepas dari komersialisasi ala kapitalisme. Semua dikelola sesuai koridor syarak semata-mata demi kepentingan rakyat. Alhasil, rakyat pun tidak dipusingkan untuk mengakses tempat hiburan dan wisata untuk berkumpul bersama keluarga saat hari raya tiba, bahkan di setiap harinya.

Selain itu dalam sistem Islam, hubungan antara buruh/pekerja dan pengusaha/perusahaan terjalin di atas landasan takwa kepada Allah SWT. Alhasil, hubungan keduanya pun diatur berlandaskan syarak. Dalam masalah pengupahan misalnya, dikembalikan pada akad antara buruh/pekerja dan pengusaha/perusahaan; termasuk akad pemberian fasilitas dan tunjangan dari penguasa/perusahaan untuk buruh/pekerjanya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button