Menjawab Tuduhan-Tuduhan Miring terhadap Imam Al-Ghazali
Pernah ada seorang ulama dari Fez, Maroko, bernama Abul Hasan Ali bin Hirzihim yang sangat memusuhi karya-karya Al-Ghazali khususnya kitab Ihya’, sampai-sampai ia menyuruh orang mengumpulkan semua naskah yang ada untuk dibakar pada hari Jumat. Namun rencananya itu dibatalkan dan sikap antipatinya pun berubah total, setelah ia bermimpi melihat Al-Ghazali di hadapan Rasulullah Saw bersama dua orang sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar ra, tengah membuka halaman demi halaman kitab tersebut, lalu memujinya, ”Ini sesuatu yang bagus (hadza syay’un hasan).”
Demikian dikisahkan oleh Dr Syamsuddin Arif dalam kata pengantar buku Dr Ardiansyah: “Petunjuk Jalan Untuk Kembali Tentang Pemikiran dan Sikap Ilmiah Imam Al-Ghazali.”
Ada lima masalah yang menarik yang dibahas dalam buku ini. Pertama, membahas posisi Imam Al-Ghazali dalam ilmu Hadits. Ini sebenarnya ringkasan dari buku Dr Ardiansyah sebelumnya, yaitu: Otoritas Imam Al-Ghazali dalam Ilmu Hadits.
Kedua, membahas jihad Imam Al-Ghazali pada masa Perang Salib. Ada anggapan bahwa Al-Ghazali tidak punya semangat jihad melawan tentara Salib. Bahkan ada yang menuduhnya tidak peduli sama sekali. Anggapan semacam ini tentu perlu diluruskan agar tidak muncul buruk sangka pada ulama besar ini.
Ketiga, membahas sikap Al-Ghazali terhadap ilmu filsafat. Bagian ini juga termasuk banyak yang disalahpahami. Masih ada stigma negatif terhadap Al-Ghazali jika dikaitkan dengan ilmu filsafat.
Keempat, membahas tentang fase keraguan dalam kehidupan Al-Ghazali. Ini sebenarnya tema yang sangat menarik. Tentang pengalaman hidup dan perjalanan ilmiah Al-Ghazali yang diceritakan langsung olehnya.
Kelima, membahas tentang pemikiran Al-Ghazali dalam bidang akidah. Ada seorang kiai yang menganggap Al-Ghazali adalah Mahaguru Pencerahan yang mengajarkan pluralisme. Tulisan ini menjawab kiai itu, apakah Al-Ghazali itu Mahaguru pluralisme atau penjaga akidah umat Islam.
Imam Al-Ghazali dan Ilmu Hadits
Jika dikatakan bahwa Al-Ghazali tidak menulis kitab khusus tentang Ilmu Hadits maka itu adalah fakta dan benar adanya. Namun jika karena itu Al-Ghazali dituduh tidak memahami ilmu Hadits maka itu adalah kesimpulan yang gegabah. Menurut al Mahdali, jika para pengkaji mau mendalami karya-karya Al-Ghazali, niscaya mereka akan mendapati perhatian terhadap ilmu Hadits yang cukup besar. Baik dalam ilmu Hadits Riwayah, Dirayah atau Ilmu Ma’ani al Hadits.
Menurut Al-Ghazali, pemahaman seseorang terhadap hadits Nabi, terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, yang ringkas (al iqtishar). Kedua, yang sedehana (al iqtishad), dan ketiga yang panjang lebar (al istiqsha’). Pernyataan Al-Ghazali ini juga memberi isyarat bahwa ia telah mengkaji dua kitab shahih dan kitab-kitab hadits lainnya. Jika belum pernah, sulit untuk Al-Ghazali membuat klasifikasi semacam itu.
Adapun tentang ilmu Hadits Dirayah, perhatian Al-Ghazali terhadapnya bisa dilihat dalam kitab al Mankhul min Ta’liqat al Ushul dan al Mushtashfa min Ilm al Ushul. Kitab al Mankhul termasuk karya awal Al-Ghazali. Ditulis ketika Al-Ghazali berumur 15-28 tahun dan gurunya, Imam al Haramain masih hidup. Sedangkan al Mushtashfa ditulis setelah kitab Ihya’. Yaitu ketika Al-Ghazali berusia 49-52 tahun. Kitab ini kemudian diringkas oleh Ibnu Rusyd dengan judul al Dharuri fi Ushul al Fiqh atau biasa disebut Mukhtashar al Mushtashfa.
Pengetahuan yang luas Al-Ghazali terhadap hadits, juga karena Al-Ghazali telah belajar hadits langsung dari para ulama sejak mudanya. Ia pernah belajar Sunan Abi Daud dari Abu al Fath al Hakimi, al Thusi dengan metode sama’. Juga mendengarkan banyak hadits dari ulama fiqh. Ibn Asakir menytakan bahwa Al-Ghazali mendengarkan Shahih al Bukhari dari Abu Sahl Muhammad ibn Abdullah al Hafshi. Ibn al Sam’ani juga menyatakan bahwa Al-Ghazali banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan hadits Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim dari al Hafizh Abu al Fityan Umar bin Abi al Hasan al Ru’asi. Selain itu al Ghazali juga meriwayatkan hadits tentang Maulid Nabi Muhammad Saw dari Syekh Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad al Huwari.