Mural: Kritik Sosial atau Kriminal?
Meski polisi tidak menindaklanjuti proses penyelidikan si pelukis mural bergambar mirip Presiden Jokowi dengan tulisan ‘404: Not Found’, tetap saja hal itu menyisakan gelitik tanya bagi publik. Sebab, reaksi yang muncul akibat viralnya mural ‘Jokowi 404: Not Found’ dinilai berlebihan. Pasca viral, mural tersebut dihapus petugas dengan cat hitam.
Penghapusan terhadap mural lainnya berimbas ke wilayah lain. Mural dengan tulisan ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’ di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, juga dihapus petugas karena dinilai provokatif dan menganggu ketertiban umum. Hal sama terjadi di Tangerang Banten. Mural bertulisakan ‘Tuhan, Aku Lapar!!’ dihapus petugas setempat.
Mengapa ini menggelitik? Karena lukisan mural sebenarnya sudah biasa terjadi dari orde baru hingga reformasi. Sejauh ini tidak ada aksi hapus menghapus mural. Apakah lantaran mural berisi kritik sosial yang viral itu mengusik ketenangan rezim penguasa? Mural yang mestinya disikapi sebagai seni jalanan mengekspresikan pendapat ditanggapi secara tidak biasa.
Andaikata tidak viral, mungkin mural tersebut masih melekat di tembok jalanan. Tak ayal, masyarakat dibuat geram dengan sikap reaktif dan cepat tanggapnya pihak berwenang. Mengapa soalan lukisan saja sudah merasa gerah? Dimana letak provokatifnya sebuah tulisan ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’? Bukankah memang faktanya demikian? Negeri ini memang sedang sakit. Sakit di segala bidang. Sakit nuraninya, akal sehatnya, empatinya, keadilan hukumnya, pejabatnya, generasinya, kekayaan alamnya, dan sebagainya.
Apakah mural yang berisi kritik sosial dilarang? Bukankah kritik itu baik? Tatkala masyarakat aktif mengkritik, itu tandanya mereka peduli. Prihatin dengan negeri yang berduka. Cara masyarakat menyampaikan kritik bisa jadi berbeda. Ada yang mengekspresikan dalam bentuk mural, tulisan, gambar, video dan berbagai sarana lainnya.
Harusnya kritik sosial tidak dijadikan alat untuk menjerat seseorang dengan dalih kriminal dan melawan hukum. Hukum bukan milik penguasa. Keadilan hukum milik rakyat Indonesia. Artinya, penegakan hukum jangan lagi tebang pilih sesuai selera. Karena masyarakat merasa, hukum saat ini lebih dijadikan alat untuk membungkam sikap kritis rakyat.
Seperti kata Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Presiden Jokowi tidak berkenan polisi responsif menindak kritik yang dilayangkan melalui kesenian seperti mural. Menurut Agus, melontarkan kritik terhadap pemerintah sebenarnya sah-sah saja. Namun, akan menjadi masalah apabila yang disampaikan adalah fitnah yang memecah belah persatuan dan kesatuan serta menyerang pribadi. (Detikcom, 20/8/2021)
Berarti mural yang berisi kritik sosial tidak perlu dihapus kan? Itu kan hak berpendapat warga negara. Jadi, mestinya sah-sah saja bila kritik itu diungkapkan melalui lukisan mural. Lagipula, Bapak Jokowi pernah bilang sangat senang dikritik. Tapi pernyataan beliau ini sepertinya belum menjadi perhatian bagi para pendukungnya. Pak Jokowinya terbuka dengan kritik, tapi bawahannya justru meradang. Kritik pun berujung pelaporan dengan pasal penghinaan dalam UU ITE.
Apa yang disebut fitnah dan memecah belah juga kadangkala bias dan multitafsir. Bagi kaum oposan, kritik itu perlu dilakukan sebagai kontrol dan pengawasan atas kinerja dan kebijakan pemerintah agar tidak offside. Namun, bagi pendukung penguasa, kritik selalu dianggap sebagai ujaran kebencian dan penghinaan terhadap presiden atau pemerintah. Inilah yang dikatakan bagi sebagian masyarakat, “Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.”
Para pemimpin negeri ini mestinya meneladani sikap para khalifah Islam di masa pemerintahan Islam. Sebagai contoh, khalifah Umar bin Khaththab ra. tidak malu mengakui kesalahan pendapatnya terkait mahar. Beliau menerima pendapat wanita yang mengkritiknya dengan membenarkan pendapat wanita tersebut.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang juga menerima kritik tajam dari putranya sendiri lantaran sang ayah istirahat di siang hari saat masih banyak rakyatnya yang membutuhkan perhatiannya. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik tertunduk lesu manakala ia dinasihati seorang alim bernama Atha’ dari generasi tabiin agar senantiasa mengingat hisabnya yang berat sebagai pemimpin kaum muslimin.
Kritik memang sangat diperlukan bagi setiap roda pemerintahan. Terlebih, bila pemerintahan itu zalim dan tidak berpihak kepada rakyat, maka kritik merupakan bagian dari dakwah amar makruf nahi mungkar.
Sebagaimana sabda Nabi Saw., “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Pemimpin itu harus siap dikritik. Kalau tidak siap dikritik, ya jangan jadi pemimpin. Pemimpin itu harus tahan banting, tidak mudah baper dengan kritik meski nyelekit. Tak ada aksi tanpa reaksi. Tak akan ada kritik jika kebijakannya tidak mengusik nurani publik. []
Chusnatul Jannah