Dari Demokrasi ke Teodemokrasi
Cacatnya demokrasi tentu tokoh-tokoh Islam telah memahaminya. Dimana dalam demokrasi akhirnya kaum kapitalis yang berkuasa, kebebasan seksual dipropagandakan, kebebasan murtad, tumbuhnya LGBT dan seterusnya.
Maka tokoh-tokoh Islam dalam sistem pemerintahan mengajukan teori teodemokrasi. Abul A’la Maududi tokoh besar Islam Pakistan mengajukan teori bahwa sistem yang paling tepat untuk manusia, khususnya umat Islam adalah teodemokrasi. Gabungan antara teokrasi dan demokrasi.
Sistem teokrasi kita tahu telah menyebabkan kerusakan di Barat di abad pertengahan. Dimana saat itu gereja menguasai rakyat bekerjasama dengan kaum bangsawan. Di masa itu kaum intelektual yang pendapatnya bertentangan dengan gereja dihukum mati, buku-bukunya dibakar dan seterusnya. Pihak gereja merasa menjadi wakil Tuhan dan menyatakan dirinya selalu benar.
Melihat fenomena ini akhirnya kaum intelektual dan rakyat protes dan lahirlah renaissance, revolusi Prancis dan seterusnya.
Dari sini lahirlah demokrasi. Kekuasaan di tangan rakyat. Kebenaran ada pada rakyat. Kekuasaan Tuhan dihilangkan. Akal manusia diutamakan. Wahyu dihilangkan. Padahal rakyat ada yang bodoh, jahat dan berbuat menuruti nafsunya belaka.
Setelah demokrasi berkibar berabad-abad, kini mulai banyak intelektual yang menggugat demokrasi. Demokrasi telah digunakan semena-mena meliarkan manusia. Atas nama demokrasi Amerika menyerbu Irak (2003) yang menyebabkan korban lebih dari satu jiwa. Atas nama demokrasi Amerika dan Inggris merekayasa pendirian negara Israel (1948) di wilayah Arab. Demokrasi menyebabkan tumbuhnya liberalisme, pluralisme agama, feminisme, LGBT dan lain-lain.
Gugatan terhadap demokrasi ini sebenarnya sudah lama. Demokrasi liberal yang digaungkan peradaban Barat menimbulkan masalah di dunia Islam. Lahirnya liberalisme menjadikan marak tumbuhnya pelacuran, lahirnya feminisme, mengakibatkan LGBT-childfree dan lain-lain.
Memang demokrasi yang tumbuh di Barat ini ada nilai positifnya. Seperti adanya transparansi dalam kepemimpinan, check and balance, kebebasan kritik dan lain-lain. Maka jangan heran, tokoh-tokoh Islam ingin memadukan demokrasi dengan Islam.
Abul A’la Maududi memadukan antara teokrasi dan demokrasi. Mohammad Hatta menggagas demokrasi Islam. Mohammad Natsir mengajukan konsep teistic demokrasi, demokrasi yang berketuhanan.
Konsep ini dimaksudkan agar kaum Muslim menghilangkan hal-hal yang buruk dalam demokrasi. Atau membatasi demokrasi dengan Islam. Atau dalam bahasa Mohammad Natsir, semua bisa dimusyawarahkan, kecuali yang dilarang Islam.
Dalam sejarah politik di Indonesia, kita melihat dahulu sebelum 17 Agustus 1945, mayoritas Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan Islam. Ada kerajaan Tidore, Kerajaan Banten, Demak, Cirebon, Yogyakarta, Samudera Pasai dan lain-lain.
Kerajaan-kerajaan itu meski sebenarnya sistem kerajaan tidak sesuai dengan Islam (karena penguasa hanya dari keturunannya) mayoritas ulama menerimanya. Bagi ulama yang penting dalam kerajaan itu penguasanya shalih dan hukum atau nilai Islam diterapkan dalam kerajaan itu. Mereka sibuk berdakwah, tidak sibuk mengecam sistem kerajaan saat itu.