OPINI

Turunnya Indeks Demokrasi Bisa Berdampak Pada Pandemi

The Economist Intelligence Unit (EIU) baru saja merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. Ini adalah sebuah indeks yang disusun oleh EIU sejak tahun 2006 dengan tujuan mengukur keadaan demokrasi di 167 negara di dunia. Dalam laporan terbaru, Indonesia tercatat mendapatkan skor terburuk dalam kurun 14 tahun terakhir. Indeks Demokrasi kita bahkan terus-menerus berada di bawah Timor Leste. Ini tentu saja bukan berita menyenangkan.

Ada lima indikator yang digunakan EIU untuk menentukan indeks demokrasi suatu negara, antara lain proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil. Berdasarkan skor atas indikator-indikator tadi, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara yang disurvei ke dalam empat kategori, yaitu demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.

Dari indikator-indikator tadi, Indonesia mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, skor 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah, skor 6,11 untuk partisipasi politik, skor 4,38 untuk budaya politik, dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil. Jumlah skor yang diperoleh Indonesia tahun 2020 ternyata merupakan perolehan terendah dalam 14 tahun terakhir. Dengan skor yang rendah itu, kita masih dikategorikan sebagai negara dengan ‘demokrasi cacat’.

Secara global, EIU mencatat sepanjang pandemi Covid-19 berlangsung, indeks demokrasi dunia memang mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5,37, menurun dari rerata tahun sebelumnya di angka 5,44. Angka 5,37 ini juga tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU pertama kali merilis laporan tahunannya pada 2006 silam. Namun, turunnya skor kita ke angka paling rendah sepanjang sejarah tentunya bukanlah sesuatu yang pantas dimaklumi.

Di tengah-tengah pandemi, turunnya indeks demokrasi bisa menjadi hal buruk. Sebab, merujuk kepada riset yang dibuat oleh Transparency International (TI), makin lemahnya demokrasi biasanya akan berbanding lurus dengan makin tingginya angka korupsi. Padahal, praktik korupsi diketahui bisa kian memperburuk dampak pandemi.

Sayangnya, situasi buruk itulah yang kini sedang berlangsung di Indonesia. Merujuk pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020, yang disusun TI, selama setahun pandemi, Indonesia dianggap mengalami kemunduran besar dalam gerakan anti-korupsi. Dari 180 negara yang disurvei, posisi Indonesia anjlok hingga 17 peringkat, dari sebelumnya berada di posisi ke-85 (2019), menjadi peringkat ke-102 (2020). Indonesia bahkan hanya mampu mencetak skor 37 poin, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 43 poin.

Secara global level pemberantasan korupsi Indonesia saat ini hanya setara dengan negara Gambia, dan jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura (85 poin), Brunei Darussalam (60 poin), atau Malaysia (51 poin). Selama satu dekade terakhir, skor Indonesia juga tak pernah beranjak dari kisaran 30-an poin. Kita, sekali lagi, bahkan kalah dari Timor Leste (40 poin). Ini, selain memprihatinkan, juga sangat memalukan.

Turunnya Indeks Demokrasi dan anjloknya Indeks Persepsi Korupsi secara bersamaan adalah sebuah kabar buruk. Di tengah-tengah pandemi, negara-negara demokrasi dan tidak korup diyakini akan bisa merespon pandemi dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat dibandingkan negara-negara yang kurang demokratis dan korup. Sehingga, kualitas demokrasi, serta kemajuan gerakan pemberantasan korupsi, merupakan faktor yang cukup menentukan kapan sebuah negara bisa keluar dari pandemi dan bisa memulihkan diri.

Korupsi, menurut catatan TI, cenderung membuat negara gagal memberikan respon yang tepat untuk mengatasi pandemi. Negara-negara yang korup juga biasanya tak mampu menyediakan jaminan sosial dan kesehatan yang layak untuk warganya.

Bukti-bukti mengenai hal ini saya kira sudah tersedia di depan mata. Menurut Survei TI, Selandia Baru, yang sering dipuji sebagai teladan dalam penanganan pandemi Covid-19, terbukti merupakan negara paling bersih dari korupsi sepanjang 2020.

Di sisi lain, selama periode pandemi ini kita justru terus-menerus disuguhi oleh kasus-kasus korupsi besar, mulai dari kasus Jiwasraya, Asabri, BPJS Ketenagakerjaan, hingga korupsi dana bansos. Celakanya, semua kasus korupsi itu berhubungan dengan sistem jaminan sosial dan kesehatan, dua pilar penting yang menentukan keberhasilan kita dalam mengatasi pandemi dan memulihkan diri dari krisis.

Makanya, saya tak heran melihat situasi kita saat ini cenderung terus memburuk. Saat tren penambahan kasus dan kematian akibat pandemi secara global mulai turun, Indonesia justru mengalami anomali dengan mengalami peningkatan jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19. Menurut data WHO (World Health Organization), penambahan kasus di Indonesia dalam seminggu terakhir berada di peringkat ke-7 tertinggi di dunia. Sementara, penambahan kematian dalam sepekan terakhir berada di peringkat ke-11 dunia. Di Asia, Indonesia kini menjadi negara dengan penambahan kasus dan kematian terbanyak, yang sebelumnya ditempati India.

Ditemukannya vaksin juga tak akan memberi banyak kemajuan. Sebab, menurut data Bloomberg, Indonesia diprediksi akan membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk bisa menuntaskan program vaksinasi Covid-19. Proyeksi ini jauh di atas rata-rata dunia yang hanya membutuhkan tujuh tahun untuk bisa menyelesaikan vaksinasi. Lambannya birokrasi, buruknya manajemen krisis, serta adanya praktik korupsi dalam bidang kesehatan dan sosial, akan memperburuk hal itu.

Jadi, jika ada yang menganggap remeh turunnya Indeks Demokrasi serta anjloknya Indeks Persepsi Korupsi, mereka pastilah tidak menyadari dampak turunnya hal-hal tadi bagi masa depan kita dalam mengatasi pandemi.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Ketua BKSAP DPR RI; Wakil Ketua Dewan Pembina dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Artikel Terkait

Back to top button