Impor Garam, Sampai Kapan?
Agaknya mimpi, berlepas dari impor garam dan mengharap swasembada di negeri ini. Impor terpaksa menjadi solusi, demi memenuhi kebutuhan garam industri. Meski penguasa sudah marah-marah, bak angin berlalu diperiode kedua belum juga menghasilkan buah swasembada.
Rekor baru kembali dicetak penguasa. Sebanyak 3,07 juta ton impor garam menduduki posisi tertinggi dari tahun sebelumnya. Yaitu impor garam di tahun 2018 sebanyak 2,839 juta ton (UN Comtrade).
Alasan klasik terus dilontarkan penguasa, yaitu masalah kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas garam lokal tak mencukupi kebutuhan nasional yaitu 4,6 juta ton. Sementara kemampuan produksi industri garam dalam negeri hanya 1,5 juta ton (Kompas.com,25/09/2021). Kualitas garam petambak tak masuk kriteria garam industry karena memiliki, kandungan NaCl (Natrium Klorida) rendah. Dampaknya, data per September 2020 masih ada 738.000 ton garam rakyat yang tidak terserap industri (merdeka.com, 21/03/2021).
Membaca di laman suaraislam.id (28/09/2021), Negara kepulauan tak pantas impor garam. Benar saja, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah lautannya mencapai 3,25 juta km2 yang melebihi luas daratannya yang hanya sekitar 2,01 juta km2. Memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia mencapai 54,7 ribu km (kkp.go.id). Bisa dibayangkan betapa besar potensi negeri ini, jika hanya untuk memproduksi garam pastilah mumpuni.
Alih-alih mencari solusi dan mendorong peningkatan kuantitas serta kualitas pasokan garam di dalam negeri. Malah menaikkan 6-7 persen impor garam industri.
Riset garam industri yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPKMN) 2019-2024 masih jauh panggang daripada api. Keputusan impor garam sesuai UU Cipta Kerja dari pemerintah justru membatalkan target swasembada yang direncanakan tahun 2022 dan baru akan serius membangun industri garam pada tahun 2025 (Dokumen rencana induk pembangunan industri (RIPIN) Kementerian Perindustrian RI).
Kebijakan yang diambil lebih pro korporasi dan memihak pada industri. Seakan enggan menunggu proses swasembada dalam negeri, lebih memilih ‘mode instan impor’. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Bu Susi (mantan menteri kelautan), kewenangan KKP yang mengatur neraca garam dicabut oleh PP 9. Dalam pasal 3 ayat 1 PP No. 9/2018 yang menyebutkan pelaksanaan pengendalian impor komoditas penggaraman sesuai rekomendasi dari kementrian industri.
Dampaknya, para petambak bak mati di lumbung sendiri. Lihat saja harga garam petani pernah menyentuh Rp150/kg ditahun 2019 dan Rp 400/kg di tahun 2020. Harga terbaik kisaran Rp1500/kg terjadi saat impor ditekan. Maka jika keran impor dibuka, dus penurunan produksi tak bisa dihindari. Tak punya harapan akibat ketidakpastian penjualan garam, selama 2020 ada 5-10 persen anggota APGI (Asosiasi Petani Garam Indonesia) memilih banting setir menjadi kuli bangunan mencari mata pencaharian yang lebih menguntungkan (tirto.id,17/03/2021).
Padahal dengan mengimpor garam tidak hanya mematikan petambak, tatapi mematikan negara sendiri karena terus terjerat dengan hutang luar negeri.
Inilah buah dari sistem politik ekonomi kapitalis neoliberal. Negara hadir hanya sebagai regulator penghubung antara kebutuhan rakyat dengan para korporasi. Bukan sebagai ‘pengurus’ rakyat. Pengusaha berjaya, rakyat tidak sejahtera.