Vonis Herry Wirawan Dinilai Tak Adil, HNW Berharap Jaksa Ajukan Banding
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyesalkan vonis majelis hakim terhadap Herry Wiryawan, pelaku pemerkosaan dan kejahatan seksual terhadap 13 santriwati yang masih dibawah umur. Putusan hakim dinilai tidak memenuhi rasa keadilan karena terdakwa hanya dijatuhi hukuman seumur hidup, tanpa pemberatan dengan dikebiri, dan tanpa penyitaan harta untuk diberikan kepada para korban.
Itu semua juga tidak sesuai dengan tuntutan maksimal jaksa yaitu hukuman mati dengan pemberatan dikebiri dan penyitaan harta untuk diberikan kepada para korban.
Baca juga: Herry Wirawan, Terdakwa Pemerkosa 13 Santri Dipenjara Seumur Hidup
HNW, sapaan akrabnya, juga menyesalkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menerima vonis hakim itu, padahal vonis itu tidak sesuai dengan sanksi maksimal dalam UU Perlindungan Anak.
Namun, HNW mendukung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, lokasi terjadinya kasus kejahatan seksual biadab ini, agar Jaksa mengajukan banding sesuai dengan tuntutan-tuntutannya yang memenuhi rasa keadilan dan komitmen memberantas kejahatan seksual apalagi yang berlaku terhadap anak-anak.
“Sangat disayangkan, ditengah makin maraknya kekerasan dan kejahatan seksual termasuk terhadap anak-anak, dan keseriusan pemerintah dan DPR untuk segera mengundangkan RUU TPKS, tetapi hakim tidak menjatuhkan vonis maksimal sesuai tuntutan-tuntutan jaksa. Padahal kejahatan seksual yang dilakukan oleh terpidana sangat mendapat perhatian publik,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (17/2/2022).
Apalagi, kata HNW, kalau merujuk pada Pasal 81 ayat (1-5)jo. Pasal 76 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah terakhir kali melalui UU No. 17 Tahun 2016, kejahatan seksual yang dilakukannya sangat biadab dan sangat layak mendapatkan sanksi hukum maksimal hingga hukuman mati, dengan pemberatannya, karena jumlah korban lebih dari 1, malah 13.
HNW melanjutkan, kejahatan yang dilakukan Herry berulang-ulang sejak 2016 sampai 2021, dan kejahatannya mengakibatkan dampak yang serius kepada para korban bahkan sembilan di antaranya hingga melahirkan, apalagi posisinya sebagai guru yang seharusnya mendidik dan mengayomi muridnya, tapi malah melakukan kejahatan seksual berulang terhadap santriwati-santriwatinya itu.
“Oleh karena itu, sikap majelis hakim yang tidak memberlakukan hukuman mati sebagaimana tuntutan Jaksa melainkan cukup dengan hukuman seumur hidup, dengan alasan keadilan bagi korban, malah tidak bisa memenuhi keadilan untuk para korban sesuai ketentuan dalam UU Perlindungan Anak yang masih berlaku,” tukasnya.
Menurut HNW, vonis seumur hidup yang dijatuhi oleh majelis hakim, bahkan tidak diperberat dengan hukuman kebiri, juga penyitaan harta sebagai kepedulian terhadap para korban yang juga telah tersedia dalam instrumen hukum Indonesia, adalah vonis yang tidak memenuhi keadilan publik, keberpihakan kepada korban serta keseriusan dalam pemberantasan kejahatan seksual.