Komersialisasi JKN di Balik Kisruh BPJS Kesehatan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kembali menuai kontroversi. Sejak 25 Juli 2018, BPJS Kesehatan bermaksud menerapkan implementasi Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik (bisnis.com, 26/7/2018).
Polemik yang bergulir kian santer. Mengingat tak sekali ini saja BPJS Kesehatan mengeluarkan aturan yang dirasa merugikan publik. Banyak pihak khawatir, terbitnya tiga aturan baru dari BPJS Kesehatan, akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan untuk masyarakat.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Asih Eka Putri, menyatakan tiga aturan itu tidak memiliki kekuatan hukum sehingga kebijakan dalam aturan tersebut tidak bisa dilaksanakan dan harus segera dicabut. Menurut dia, pemerintah tidak boleh membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Sebab masyarakat sangat membutuhkan jaminan kesehatan. Disamping itu defisit Rp8 triliun itu kecil, jika dibandingkan dengan anggaran lainnya yang dapat mencapai Rp200 triliun (mediaindonesia.com, 27/7/2018).
Komersialisasi Ala Kapitalisme Biang Kisruh
Seperti diketahui publik, kisruh BPJS Kesehatan tak lepas dari terus defisitnya anggaran jaminan kesehatan yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan. Walaupun ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa kisruh BPJS Kesehatan sebab lambannya revisi Perpres Jaminan Kesehatan Nasional Nomor 12 Tahun 2013 tak kunjung ditandatangani oleh presiden.
Tapi fakta berbicara, sejak BPJS Kesehatan diberlakukan, hingga kini berbagai persoalan masih banyak ditemui di lapangan. Lembaga Pengawas Jaminan Kesehatan Nasional, Jamkes Watch mengungkapkan pasien masih sulit mendapatkan kamar rawat inap dan ICU/NICU di rumah sakit. Persoalan lain yang sering dijumpai adalah ketidaksediaan obat di rumah sakit, pasien yang masih diminta membayar, karena alasan ada beberapa obat atau tindakan yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan (bisnis.com, 22/7/2018).
Makin tampak Jaminan Kesehatan Nasional yang digadang-gadang jadi solusi pelayanan kesehatan masyarakat, tak jauh beda dengan komersialisasi pelayanan kesehatan. Makin tampak pula kelemahan pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan secara gratis dan berkualitas. Sungguh pemerintah telah menzalimi rakyat. Sebab telah berlepas diri dari kewajiban menjamin pelayanan kesehatan rakyat.
Inilah buah dari sistem kapitalisme yang hanya berorientasi materi. Tata kelola pelayanan kesehatan semata-mata ditujukan untuk kepentingan korporasi. Asuransi kesehatan yang berkedok BPJS Kesehatan, telah sukses menghisap uang rakyat lewat iuran kesehatan. Lebih miris lagi, pemerintah menjadi tukang palak dengan mewajibkan seluruh rakyat ikut serta dalam BPJS Kesehatan.
Jaminan Kesehatan Nasional dengan mengatasnamakan BPJS Kesehatan terbukti penuh cacat dan tak layak untuk rakyat. Sebab lahir dari sistem kapitalisme yang jelas bathil, rusak dan merusak. Tak pantas dipertahankan karena manfaatnya bersifat semu dan menipu. Konsep jahiliyah yang usang dan harus segera dibuang.
Saatnya berpikir cerdas dan cemerlang mencari solusi alternatif nan solutif. Agar kisruh BPJS Kesehatan segera diatasi. Sebab masalah kesehatan berkaitan dengan kualitas generasi.
Cara Islam Menjamin Kesehatan Rakyat
Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim. Menjadi kewajiban dan tanggung jawab seorang kepala negara memberikan jaminan kesehatan gratis dan berkualitas. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR. al- Bukhari)
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam telah membangun dasar yang kokoh bagi terwujudnya upaya pencegahan dan penyembuhan dalam bidang kesehatan. Hal ini telah berlangsung sejak Islam diturunkan dan diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR. al-Bukhari)
14 abad yang lampau, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam telah mencontohkan pada umatnya, berbagai upaya pencegahan dalam bidang kesehatan. Diantaranya mewujudkan pola emosi, pola makan, pola aktivitas, lingkungan dan perilaku seks yang sehat sesuai syariat.
Upaya pencegahan yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam tidak hanya pada skala induvidu, tapi juga di level negara. Pernah suatu ketika daerah di luar Madinah terjangkit wabah tha’un (pes, sampar, atau penyakit sejenisnya) dan al-masih (sejenis kuman yang mengelupaskan kulit). Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam kemudian melarang siapa pun yang terkena kedua jenis penyakit itu masuk ke Madinah.
“Jika kamu mendengar tentang tha’un di suatu tempat, maka janganlah kamu memasukinya (tempat itu). Apa bila kamu (terlanjur) berada di tempat yang terkena wabah itu, maka janganlah kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Sa’id).
Upaya penyembuhan pun menjadi perhatian Islam. Negara mendorong para ahli di bidang kesehatan, untuk berlomba-lomba menemukan berbagai cara dan teknologi dalam menyembuhkan pasien. Tentunya dengan berpegang teguh pada prinsip dan kode etik profesi di bidang kesehatan. Rasa aman, nyaman, dipeliharanya jiwa dan kehormatan menjadi faktor penting. Semata-mata untuk memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas.
Sepanjang sejarah emas peradaban Islam. Para khalifah telah membangun rumah sakit dengan kualitas terbaik. Sebagai bukti loyalitas mereka untuk memberikan jaminan dan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Salah satu contohnya, jaminan dan pelayanan kesehatan yang diberikan Khalifah al-Mansur yang mendirikan rumah sakit al-Mansuri di Kairo pada tahun 1248 H.
Rumah sakit ini memiliki bangsal terpisah untuk ragam penyakit dan pemulihan pasien, terdapat pula laboratorium, dapur diet, pemandian, perpustakaan, ruang pertemuan serta perawatan khusus sakit mental. Perawatan diberikan gratis baik pria maupun wanita. Para pasien yang terjaga dihibur alunan musik lembut, pendongeng, dan bila perlu buku-buku sejarah’.
Jumlah pasien yang dilayani rumah sakit ini mencapai 4.000 orang setiap harinya. Perawatan inap bebas biaya dan jika pasien selesai rawat inap diberikan bekal asupan serta uang kompensasi penghidupan yang hilang selama dirawat inap.
Rumah sakit ini tetap menerima pasien dalam kurun waktu 7 abad lamanya. Sedangkan saat ini rumah sakit al-Mansur dipakai untuk optamologi dan dinamai rumah sakit Mustashfa Qalawun. Ibn al-Nafis (1208-1288) pernah menjadi kepala rumah sakit ini. Ia telah menulis sejumlah buku di bidang kedokteran. Salah satunya adalah kitab Mujaz al-Qanun. (hidayatullah.com, 16/12/2014).
Tampak sangat jauh perbedaan jaminan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang diberikan Islam dengan saat ini. Maka adalah kebutuhan yang mendesak menerapkan Islam. Sistem yang telah didesain secara sempurna dan menyeluruh oleh Allah Ta’ala, Al-Khaliq Al-Mudabbir. Untuk segera diterapkan pada institusi yang didesain secara khas dan unik yaitu khilafah.
Karena hanya Khilafah satu-satunya yang memiliki kemampuan mencabut habis komersialisasi dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang merajalela hingga hari ini, termasuk pada aspek kesehatan. Yaitu dengan menerapkan konsep yang benar, konsep yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah dan apa yang ditunjuki oleh keduanya. Konsep inilah yang akan menghantarkan Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu ‘alam bishshawwab.
Ummu Naflah
Ummahat Peduli Umat, Member Akademi Menulis Kreatif