Mengapa Reformasi Gagal?
Menurut UUD 1945 amandemen keempat, gerakan reformasi pada hakikatnya merupakan tuntutan untuk melaksanakan demokratisasi di segala bidang, menegakkan hukum dan keadilan, serta menegakkan hak asasi Manusia, memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme, melaksanakan autonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta menata kembali peran dan kedudukan angkatan bersenjata Republik Indonesia.
Risiko yang perlu dibayar dalam proses reformasi 1998 di Jakarta saja menurut BBC berupa kerugian fisik adalah sebesar Rp2.5 triliun. Korban meninggal 288 orang, 101 luka-luka dari rakyat biasa. Empat orang mahasiswa ditembak dengan peluru tajam di leher, dada dan kepala
Dan kalau kita googling, maka terlalu ramai ilmuan yang mengatakan bahwa reformasi 1998 telah gagal.
Dulu para tokoh pejuang kemerdekaan yang ikut berperang dari hutan ke hutan, berkorban nyawa harta keluarga banyak yang tidak dihargai awalnya karena negara dikuasai oleh mereka yang tidak pernah berperang angkat senjata melawan penjajah.
Begitu juga dengan penyingkiran tokoh reformasi di Myanmar, Mesir, Malaysia, Indonesia, usaha kudeta terhadap Erdogan di Turki dan sebagainya.
Reformasi boleh dikatakan gagal karena ibarat benih yang baik tidak akan pernah tumbuh subur di tanah yang gersang. Coba hitung dengan jari siapa saja yang ada dalam pemerintah pernah berjuang dalam reformasi 1998, memiliki konsep, idea, wawasan dan gagasan tentang reformasi.
Atau mungkin yang ada hanya sekedar tukang sorak pelengkap penderita dalam reformasi. Istilahnya orang ketawa dia ketawa padahal yang diketawakan orang itu dia.
Bagaikan lembu punya susu, sapi yang dapat nama. Menangguk di air keruh menggunting dalam lipatan, menjadi pahlawan kesiangan dalam reformasi.
Ada beberapa agenda reformasi yang menurut bahasa Minangnya sudah bertanya kerbau pada pedati. Sebut saja reformasi Polisi, Reformasi TNI, Reformasi birokrasi dan banyak lagi.
Bagaikan negara dalam negara, itulah yang sering disebutkan orang antara penyebab kacau balau yang berlaku.
Lihat saja KPK sebagai anak kandung reformasi yang dilahirkan antaranya karena ketidakpercayaan publik pada kepolisian, namun sekarang ia dipimpin oleh seorang polisi. Akibatnya indeks persepsi korupsi kita mengecewakan. Belum lagi indeks-indeks lainnya.