Pemilu Mendekat, Politisi Rebutan Suara Umat
Bukan hal yang aneh lagi. Saat jelang pemilu tiba, para politisi partai peserta pemilu ramai rebutan suara umat. Seolah nampak menjadi keramat yang mesti segera dikantongi.
Majalah Tempo edisi awal Agustus 2018 yang berjudul “Joko Royo-Royo” mengupas panjang lebar mengenai fenomena empat tahunan yang identik dengan rebutan suara rakyat. Karena Jokowi saat dipandang tak didukung pemilih Muslim jadilah Ia merapat erat kepada ulama. Bahkan sebagian tokoh Islam pun menjadi berbalik arah kepadanya. Yang kontra menjadi bermanis muka mendukungnya.
Menindak-lanjuti langkah merapat erat kepada ulama dan tokoh Islam, Istana pun getol melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh “212”. Bahkan telah digadang-gadang sederetan nama ulama yang akan menjadi cawapres Jokowi untuk mendampinginya dalam memangku tampuk kekuasaan. Sampai pada akhirnya, terpilihlah KH Ma’ruf Amin sebagai Cawapresnya.
Dalam laporan Majalah Tempo pun dikutip hasil survei Poltracking Februari 2018 dinyatakan bahwa agama masih menjadi faktor berpengaruh bagi pemilih dalam menentukan calon presiden, meskipun tidak sampai jatuh vital. Sehingga jika Jokowi khawatir, itu wajar. Apalagi mengamati bahwa pesaingnya, Prabowo Subianto nampak lebih akrab dengan kelompok Islam.
Namun bagi kita sebagai bagian dari tubuh umat, mestinya ini jadi modal penting dalam perjuangan. Memahami betul bahwa suara umatlah yang jelas akan menentukan arah perpolitikan di Indonesia tercinta. Umat pun seharusnya memiliki rasa waspada dengan pola yang selalu sama tiap kali pemilu tiba. Umat Islam didekap erat semata-mata untuk mendulang suaranya.
Berbagai taktik cantik telah dipasang mulus. Pencitraan digencarkan lagi-lagi untuk menarik hati umat. Rasa-rasanya umat dibuat bagai pendorong mobil mogok. Saat mobil jalan kembali umat siap ditinggal pergi. Oleh karena itu umat perlu bersikap cermat.
Kesadaran politik adalah bekal yang harus dimiliki umat. Dengan bekal ini, pilihan akan tepat ditentukan. Mana yang sebenarnya berpihak pada Islam dan ulama, mana yang hanya sekadar berdrama ria. Umat akan mampu menganalisis dengan teliti, manakah sosok pemimpin yang tulus ikhlas memperjuangkan syariat Islam untuk mencapai maslahat umat.
Umat Islam, utamanya ulama harus mapan dengan kesadaran politik jangan sampai terjerat ranjau politik warisan penjajah. Politik dengan gaya belah bambu juga adu domba. Inilah politik yang dilancarkan rezim yang mengoyak persatuan umat Islam.
Sementara jika umat merujuk cermat kepada firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan” (TQS Hud: 113).
Imam Assa’di dalam tafsirnya menekankan ayat ini berisi mengenai peringatan terhadap sikap harmonis kepada orang orang zalim. Yang dimaksudkan harmonis di sini seperti memberikan kecenderungan, berkoalisi dengan kezaliman bahkan meridhoi apa-apa yang diperbuatnya dalam hal kezaliman.
Sudah saatnya, potensi kekuatan kesadaran politik umat diarahkan guna meraih kemaslahatan Islam dan umat. Dengan demikian, memilih pemimpin amanah dan aspiratif pada perjuangan Islam adalah sebuah keniscayaan. Pemimpin yang dengan segenap daya upayanya memperjuangkan penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Karena pemimpin amanah nan salih hanya pantas ada di sistem sahih.
Di sanalah suara umat layak diberikan. Umat menyokong calon pemimpin amanah yang memperjuangkan penerapan Islam kaffah. Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin saat menginjakkan kaki di Madinah, dalam rangka hijrah dari sistem ala logika manusia kepada sistem yang berasal dari kesempurnaan Sang Pencipta, Allah Subhanahu wata’ala. Wallahu’alam bishowab.
Ammylia Rostikasari, S.S.
Aktivis Akademi Menulis Kreatif