‘Genderuwo Politik’
Disadari atau tidak oleh rakyat pemilih Indonesia, jikalau Pilpres 2024 itu bakal menyimpan kengerian yang mencekam untuk republik ini? Seandainya saja jika ternyata para elite antek-antek “Genderuwo Politik” itulah yang memenangkan Pilpres 2024?
Padahal suatu pesta demokrasi ya seharusnya sangat suka cita rakyat berpesta poralah, dikarenakan suatu pesta demokrasi itu pasti berkemaslahatan demi dan untuk bangsa yang terus berkemajuan.
Semoga saja kengeriannya itu tidak lebih dramatis dan mencekam dari tragedi Kanjuruhan dan atau Itaewon yang mengakibatkan 154 korban tewas seluruhnya akibat berdesakan-desakan sesak napas kehabisan oksigen membuat jantung berhenti berdetak?
Tetapi, kenapalah pula kok ketika Pilpres 2019 malah yang tewas petugasnya lebih dari 500 orang itu hanya dikarenakan itu “betul” kelelahan?
Bukan berarti penulis membuat artikel politik ini dengan kengerian itu ingin menakut-nakuti rakyat. Di sini horor hantu artifisial yang menimbulkan kengerian itu benar-benar ada berasal dari setan di Pulau Jawa disebut “Genderuwo Politik (GP)”.
Janinnya muncul mulai terbentuk semenjak nyaris satu dekade lalu dan bidannya ya Presidential Threshold 20% itu: produk hukum yang tak terjamah “tangan logika rasionalitas ilmu pengetahuan hukum kemanusiaan”, apalagi “tangan kemuliaan hukum Tuhan”?
Sepanjang nyaris sepuluh tahun itu tampaknya horor kengerian itu sengaja dipelihara ketika “dua tangan” itu —bilamana perlu harus dipenggal, supaya tak bisa mencongkel-congkel— “The Great Wall” yang mungkin sekarang ada korelasinya.
Tembok raksasa milik negeri seberang yang dikenal sebagai Tiongkok, negara pusat komunisme gaya baru yang boleh jadi akan lebih berbahaya dan mengerikannya dari paham idiologi kapitalisme baru itu, membuat lubang sekecil pori-pori sekalipun.
Sehingga, tak ada lagi celah “sinar sekecil apapun yang bisa menyelinap masuk untuk menerangi” tembok tebal ruang GP itu yang tengah menggelapi hitam legam sepekat-pekatnya tatanan demokrasi di Republik ini.
“GP” itu sebagai sosok ya calon rezim penguasa yang tengah mendaki puncak tangga kesempurnaan “Istana Otoritarianisme” ini: sekarang tengah bermain licik dan curang keroyokan mempertahankannya mati-matian.
Merekalah dari istana para perekayasa itu dikomandoi oleh rezim dan di dalamnya bernaung lembaga-lembaga tinggi negara (DPR, MK dan MA) berkonspirasi dan berkolusi tengah bekerja keras mencegah terjadinya banjir bandang protes penghapusan PT 20% itu di-border dengan bendungan besar, ketimbang susah-susah “membidani” lagi amandemen UUD 1945 untuk penentuan jabatan presiden tiga periode.