RESONANSI

‘Blunder’ Oligarki

Filosofi terhadap sesuatu yang berlebih atau melebihi batas, pasti memunculkan “blunder”. Makna artikulasinya, Keserakahan dan kerakusan yang berlebihan atas ambisi kekuasaan yang tanpa batas sekalipun, niscaya akan pasti juga menimbulkan “blunder”.

Masih beruntung negeri RI ini, di era reformasi yang menandai kejatuhan Orde Baru yang menjadi “blunder” otoratianisme quasi Soeharto, melahirkan amandemen UUD 1945, dengan membatasi dua periode jabatan Presiden.

Juga bagi kepentingan sistem politik demokrasi dua kaki, antara Preshold 20% dan “quo vadis” gerombolan para anggota partai oligarki, siapa bilang hanya bisa membunuh dan mematikan partai-partai kecil saja, atau akan menyulitkan proses koalisinya bagi partai-partai yang pas-pasan kursi suaranya atau terbatas perolehan angka kuota prosentasinya.

Bagi partai-partai besar pun yang sudah menguasai Preshold, secara sendirian maupun berkoalisi, ternyata masih menghadapi “blunder” pula bagi empowerment daya tarik elektabilitasnya. PDIP yang tinggal melenggang, ternyata faktor Puan Maharani menjadi “blunder” dari kembalinya sikap konservatifnya PDIP yang kerap mempertahankan trah turunan Soekarnoisme.

Lihatlah kini, partai banteng moncong putih nan perkasa PDIP pun seolah jadi berada di menara gading istana “kesepian”, ditinggal satu persatu mitra koalisinya terdahulu, terperangkap “blunder” karena sikap politik eksklusivisme menganggap partai pemenang dua periode ini yang semula mengangkat motto memperjuangkan kemakmuran “Wong Cilik”, “blunder”nya malah keseret-seret oligarki korporasi, Megawati dan PDIP berganti peran menjadi pion dan penyokong “Wong Gede” karena keenakan menikmati kekayaan dan kesejahteraannya sendiri dari pada mengurusi “Wong Cilik” yang karena ulahnya nyatanya hanya semakin memenderitakan rakyat ke dalam jurang kesengsaraan. Maka, “blunder”nya —ambisi kosong dan zonk, PDIP jangan berharap untuk memenangkan kembali periode ketiga.

Hal yang sama paling nyata melebihi otoritas politik dan hukum yang mengakibatkan kemunculan lagi-lagi “blunder” itu sendiri, terkait antara otoritarianisme kekuasaan rezim penguasa Jokowi —betapa sampai semua lembaga-lembaga tinggi negara: hingga DPR, MPR , MK, MA bahkan garda keamanan Polri dan TNI kinerjanya hanya satu arah di komandoi Istana, berkoneksitas kolusinya dengan oligarki korporasi, jadi tak disukai dan sangat membuncah dibenci rakyat. Jadi “harga mati” tak laku jual karena rakyat ingin dikembalikan tahta kedaulatannya yang pernah direbutnya hanya dengan janji-janji dan kebohongan-kebohongan palsu. Maka, ketika Jokowi pensiun, legacy-nya hanya sungguh memalukan hanya menjadi “benchmark” anjing peliharaan oligarki korporasi, sementara rakyatnya menjulukinya “The King of Lips Service”.

Jadi sangat ironis, jika Jokowi ada ambisi tiga periode, selain sudah dilarang konstitusi, adanya “blunder” dukungan rekayasa relawan politik Projo, euphoria sokongan dari kepala-kepala desa LGBT (Lagi Galang Bantuan Tunai) yang masuk kantong sendiri bukan untuk desa, bahkan secara sembunyi-sembunyi menjadi “King Maker” yang melekat di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) tengah menyusun kekuatan baru —ntah nanti metamorphosis politiknya menjelma menjadi partai oligarki turunan, duplikasi dan koloninya, sesungguhnya rakyat sudah tahu dan tak mau dibohongi lagi.

Tak dinyana dan tak disangka, Golkar partai legenda yang membawa Orba berkuasa 32 tahun, dulu Soeharto, kini jenderal LBP yang “mengotaki” merekayasa tautan negara ini menyambung ke para oligarki konglomerasi itu.

Jadi, sudahilah negara ini berurusan dengan oligarki korporasi dikarenakan hanya akan merusak tatanan dan sistem kenegaraan: kok ya mau “dibeli” dan “dipreteli” oleh oligarki yang bertaut hanya dengan segelintir orang: Jokowi sebagai Presiden, dan Jenderal LBP Menteri bak menyandang Perdana Menteri, menteri segala urusan itu. Nyaris keduanya membawa negara ini menjelma menjadi “Negara Oligarki”—meskipun sesungguhnya tak ada dalam sejarah pembentukan negara-negara, tapi secara laten keberadaannya bisa melekat di manapun di negara-negara dengan sistem monarki, teokrasi dan demokrasi bisa melibas menghancurkan tatanan dan sistem negara semuanya. Faktanya, demikian pun dengan negara berdasar demokrasi Pancasila dan UUD 1945, seperti diacuhkan rezim, seolah ada, tetapi sesungguhnya tak ada, sebagai pajangan formalitas negara saja.

Maka, bersiaplah bagi Capres dan partai-partai yang mengusungnya di Pilpres yang membawa misi anti oligarki akan memenangkan Pilpres 2024 nanti.

Sekarang rakyat sudah cerdas berpolitik untuk melihat dan memetakan dari calon-calon Presiden dan partai-partai mana saja yang anti oligarki.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button