Angin Segar MK, Jalan Mulus Tuan Menteri Jadi Penggawa Negeri?
Genderang pesta demokrasi Pemilu 2024 belum juga ditabuh. Namun, nyatanya tuan dan puan elite partai sudah mulai gaduh-gaduh.
Tidak hanya sibuk berkoalisi, tetapi juga sibuk memuluskan jalan menuju kursi kekuasaan. Mulai dari presidential threshold 20 persen, hingga yang terbaru putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang para menteri yang tidak perlu mundur saat maju nyapres.
Dikutip dari CNNIndonesia.com, 31/10/2022, MK memperbolehkan menteri yang hendak maju sebagai capres ataupun cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya, asalkan mendapat izin dari presiden.
Pernyataan ini tertuang dalam putusan perkara nomor 68/PUU-XX/2022 yang diajukan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda). MK menerima sebagian dari permohonan Partai Garuda, yang salah satunya menguji Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu.
Dalam Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu disebutkan mewajibkan pejabat negara mengundurkan diri dari jabatannya saat hendak maju menjadi capres. Pengecualian diberikan kepada presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota. Namun, pada putusan perkara ini, MK menambahkan jabatan yang dikecualikan. MK memasukkan menteri sebagai pejabat negara yang tak perlu mundur saat nyapres.
Putusan MK ini jelas menuai kritik. Dr. Rizal Ramli dalam cuitannya di akun Twitter pribadinya pada Rabu, 2 November 2022, menulis (semestinya) negara yang ingin maju, membuat rakyatnya makin cerdas dan makmur, pasti etika pejabatnya makin tinggi, mengurangi conflict of interest, dan memperkuat good governance. Keputusan MK memicu kemunduran etika dan good governance.
Senada dengan Dr. Rizal Ramli, Sekjen Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), Raharja Waluya Jati, juga menilai MK seolah-olah menafikan pertimbangan etika kepemimpinan dalam memutuskan hal tersebut. Jati pun menyebut MK seharusnya tidak hanya menjadi mahkamah yang berfokus pada segi-segi teknis dalam hukum konstitusi, tetapi (semestinya) lebih dari itu, yakni dapat menjadi sumber kebenaran, kejujuran, dan keadilan bagi masyarakat. (suara.com, 2/11/2022).
Putusan MK tidak hanya mencederai etika kepemimpinan, tetapi juga berpeluang membuka pintu penyalahgunaan kekuasaan. Ya, meskipun mengambil cuti demi nyapres, tetapi faktanya para menteri ini tetaplah menjabat. Sehingga tetap memiliki kekuasaan dan pengaruh kuat pada staf-staf di kementeriannya.
Alhasil, kondisi ini dapat membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, khususnya terkait dengan penggunaan sumber daya kementerian untuk kepentingan kontestasi pesta demokrasi.
Di sisi lain, putusan MK menjadi sinyal makin berpihaknya lembaga tersebut dalam melayani kepentingan oligarki kapital. Tidak heran jika Rizal Ramli pun memplesetkan MK dengan Mahkamah Keluarga, sebab aroma ‘kekeluargaan’ demi kepentingan oligarki kental menyeruak. Inilah wajah buruk lembaga negara dalam naungan demokrasi. Rentan diintervensi kepentingan penguasa dan oligarki kapital.
Angin segar dari MK ini pun niscaya menambah amunisi tuan menteri untuk meraih kursi pemimpin negeri. Mereka pun bakal makin sibuk berkoalisi, merumuskan visi dan misi demi kepentingan partai masing-masing.