Ketika Agus Salim Memata-matai Tjokroaminoto
Tiap negara pasti ada pertarungan. Pertarungan politik antara kaum kafir dan kaum Muslim. Kaum kafir seringkali memanfaatkan kaum munafik untuk melawan kaum Muslimin.
Pertarungan itu terjadi antara penjajah Portugis atau Belanda yang kafir melawan kaum Muslimin. Belanda seringkali memberi bayaran kepada orang Islam untuk menjadi mata-mata atau anteknya.
Agus Salim pernah menjadi intel Belanda untuk memata-matai Tjokroaminoto. Ia pun sering akhirnya memata-matai Tjokro.
Setelah memata-matai Tjokro cukup lama, Agus Salim bukannya benci kepada Tjokro tapi malah kagum dan mendukung Tjokro.
Suatu saat Agus Salim mendengar pidato hebat Tjokro. Sebagaimana kita ketahui, Tjokro adalah orator yang hebat. Suaranya terdengar enak dan isinya bernas. Ribuan rakyat yang mendengarnya, dan tidak beranjak bila Tjokro pidato. Bahkan setelah pidato banyak rakyat ingin mencium kakinya. Rakyat menjuluki Tjokroaminoto sebagai Ratu Adil dan pemerintah Belanda menjuluki Tjokro sebagai Raja Tanpa Mahkota.
Setelah mendengar pidato Tjokro, Agus Salim minta bertemu empat mata. Tjokro pun menyanggupinya karena Agus Salim adalah orang hebat yang saat itu menjadi Pemimpin Redaksi sebuah majalah di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Agus Salim menyatakan kekagumannya terhadap Tjokro. Di pertemuan empat mata itu, ia terus terang menyatakan bahwa ia Intel Belanda.
Agus Salim kemudian menjelaskan bahwa ia tidak setuju dengan Tjokro yang membiarkan rakyat mencium kakinya. Agus Salim menyatakan, bukankah manusia dilarang bersujud kepada manusia lain? Sujud hanya boleh kepada Allah semata?
Tjokro senang kepada Agus Salim yang berterus terang kepadanya. Ia berterima kasih kepadanya. Ia menyatakan bahwa sebenarnya dirinya tidak mau dicium kakinya. Tapi rakyat sendiri yang melakukannya. Kritik Tjokroaminoto kepadanya itu diterimanya dengan senang hati.
Dalam pertemuan itu Tjokro juga mengajak Agus Salim untuk bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Agus Salim menyanggupinya, sehingga ia menjadi tokoh nomor dua di SI.
Rakyat saat itu memang suka berkumpul mendengarkan pidato Tjokro. Setelah pidato, mereka berebutan ingin mencium kaki tokoh itu. Kalau tidak bisa mendekat, mencium kaki Tjokro, mereka mencium kaki pengawalnya. Ketika pengawal itu protes bahwa dirinya bukan Tjokro, mereka menyatakan bahwa ingin dapat keberkahan dari pengawal Tjokro.