Anies Melawan Kekuatan ‘Rantai Politik Kekuasaan’, Mampukah?
Kalibrasi politik demokrasi geniun dengan mekanisme berganti Presiden sebagaimana perintah UUD 1945, melalui Pemilu dan Pilpres 2024, sudah dipastikan akan semakin “jelas, nyata dan niscaya”, bahkan menjadi “fakta bukti faktual” pertarungan sengit antara bacalon Presiden Anies Rasyid Baswedan melawan betapa dahsyat dan besar kekuatan “Rantai Politik Kekuasaan”.
Betapa tidak! Kenapa disebut betapa dahsyat dan besar kekuatan “Rantai Politik Kekuasaan” itu?
Berbentuk “rantai”, karena berkelindan terangkai kekuatan infrastruktur politik (political extraordinary), dari hulu hingga hilir, kemudian bermuara secara sentral sumbu “resital politik”-nya ke istana kekuasaan.
Dari hulu, berkelindan kekuatan terpadu antara parpol oligarki dan oligarki korporasi, keduanya untuk mem-back up dan meng-cover up dua kepentingan politik pula:
Pertama, meng-hired hereditas, duplikasi atau koloni, “whatever”-lah apapun namanya, tujuannya “bernaung” tetap dalam kekuasaan Jokowi dengan dan atau sebagai “King Maker mengakomodasikan dan mengkolaborasikan KIB sebagai kendaraan politiknya dengan memenangkan kandidat pasangan Presidennya, dalihnya tetap untuk mengakselerasi secara berkelanjutan mega-mega proyek Jokowi.
Kedua, ke hilir, dibantu hired bersama segenap institusi lembaga tinggi dan komisi negara, termasuk Kabinetnya, justru tengah berupaya keras “dengan segala cara”, termasuk dengan cara konspirasi terselubung dapat terwujudkan agenda ambisius memperpanjang kekuasaan tiga periode Jokowi:
Dengan melalui agenda penundaan Pemilu dan Pilpres, rencana Dekrit Presiden, kemudian amandemen UUD 1945, hingga pemilihan Presiden kemudian dikembalikan dengan mekanisme sidang paripurna istimewa MPR.
Dengan dalihnya, segala kedaruratan akibat krisis ekonomi 2023, akan dibantu dengan “pengerahan massa” melalui sukarelawan politik Musra, Projo dan Nusantara Bersatu, memfasilitasi logistik dan distribusi bentuk bantuan sosial baru, jumlahnya “akan lebih besar bakal mengejutkan dan menggiurkan”, tentu dengan isyarat jaminan maked it branded mensyaratkan bahwa hanya Presiden Jokowi-lah yang hanya bisa melakukan ini.
Jika rencana itu pun masih gagal, maka bagian pamungkas dari kekuatan “Rantai Kekuasaan Politik” dan masih menjadi bagian strategi hilirisasi politik istana, adalah men-drive dan meng-control KPU dan Bawaslu, agar dapat “bagaimanapun” sekalipun disebut “kejahatan” dan “kecurangan”—sampai diakronim sebagai lembaga para bandit Komisi Penjahat Ulung dan Badan Pengawas Sudah Tak Tahu Malu menjadi benalu Pemilu, keduanya akan memenangkan koalisi hereditas tadi.
Kekuatan “Rantai Politik Keluasaan”, meski dari hulu ke hilir secara kasat mata jelas menabrak dan bakal secara hukum dipidana terorisme mengkudeta konstitusi, dengan kekuatan “maha dahsyat” digelontorkannya permainan “money politic” oleh oligarki korporasi dalam jumlah “tak terbayangkan”, jauh lebih besar berlipat-lipat—boleh jadi sumbernya gabungan APBN dan Oligarki, dari Pilpres sebelumnya.
Yang tadinya kejahatan dan kecurangan itu kasat mata, menjadi memulainya dengan “memicingkan mata”, selanjutnya “memejamkan mata”, mengartikulasikan bahwa itu tanda-tanda ketakpedulian terhadap kondisi dan situasi bangsa, yaitu dengan “menjual harga diri politik demokrasi” dengan perhitungan cuan, daripada tak mendapatkan apa-apa.