#Anies Capres 2024RESONANSI

Anies Melawan Kekuatan ‘Rantai Politik Kekuasaan’, Mampukah?

Ternyata, kemudian partai-partai itu kalah jauh alias “jeblok”, tak mendapatkan suara rakyat yang paralel dengan tak kan mendapatkan kursi di parlemen.

Maka, boleh jadi yang tadinya menjadi eks anggota partai koalisi-oligarki akan tegap kembali menjadi partai oligarki pula, tentu dengan kemasan baru:

KIB-lah dengan Partai Golkar yang akan menjadi lokomotif, sementara PDIP, Gerindra, PKB, PAN dan PPP me jadi anggota gerbongnya.

Maka, dalam praktik politik Pilpres 2024 hanya akan ada dua kubu yang akan bertarung sengit —sebagaimana akan terulang di Pilpres 2019, antarkubu Anies diusung Nasdem, PD dan PKS melawan kubu Ganjar atau ntah siapa —yang jelas mengakibatkan efek shock elektoral, partai oligarki hasil fusi koalisi Partai Golkar, PDIP, Gerindra, PKB, PAN dan PPP.

Perhitungannya: ketimbang PDIP dan koalisi Gerindra-PKB itu hanya menjadi partai under dog di Pilpres 2024, mendingan berfusi dengan KIB.

Posisi tawar politiknya lebih berarti sekalipun kalah, misalkan Anies memperoleh suara 56%,sedangkan partai koalisi berfusi hanya mendapatkan 44%. Itu akan lebih baik dari pada 56% dimenangkan partai pendukung Anies bila dibandingkan calon Presiden dari KIB memperoleh 21% suara, PDIP yang sendiri 13%, sementara Gerindra-PKB 10% suara. Di samping lebih memperkuat posisi oposisi di DPR nanti, polarisasi bakal tetap terjadi kembali antar dua kubu ini yang sesungguhnya memang disengaja diciptakan oleh yang kalah, untuk lima tahun mendatang agar tetap menjaga kans peluang berkuasa kembali.

Juga yang perlu diwaspadai yang berbau “kejahatan elektoral” baru nanti akan menggunakan pengaruh dan perlindungan kekuatan negara RRC Tiongkok. Tentu jenis dan cara pergerakannya bersifat sangat rahasia. Sebab, jika tidak demikian, nanti RRC dianggap turut campur dan atau sebagai “menginvasi” kedaulatan negeri.

Disebut “kejahatan elektoral” yang tidak dianggap “menginvasi” kedaulatan itu kembali bersifat sunyi dan terselubung dengan tujuan utama menambah sebanyak-banyaknya suara “vote getter”:

Menggerakkan secara sistematis “dukungan wajib” dari komunitas masyarakat etnis China dan Tionghoa yang sudah menghuni kota-kota baru yang sudah dibangun di sepanjang Jalur Pantura Pulau Jawa, Jalur Trans Sumatera, Kalimantan, dsb di seluruh pelosok belahan Indonesia lainnya; menambah dengan jumlah sangat luar biasa para diaspora RRC di Indonesia, baik sebagai pekerja migran maupun turis yang akan “direkayasa” memiliki KTP Indonesia. Menduplikasi dan menggandakan KTP pribumi China dan Tionghoa melalui “pemaksaan” pencetakan KTP meski belum memasuki usia dewasa ber-KTP. Penyelundupan warga negara RRC sukarelawan yang di-hired yang sengaja dipersiapkan untuk mengikuti Pilpres, dsb, dsb.

Pada akhir artikel ini, setelah kita analisis perilaku “antagonism election” ini seluruhnya, kita jadi tentu akan bertanya; mampukah Anies sebagai lawan satu-satunya mereka menghadapi kekuatan dahsyat dan besar kekuatan “rantai politik kekuasaan” itu?

Sedangkan, hingga dewasa ini kekuatan Anies masih dalam konteks de facto dan awal euforia pendukungnya di pelbagai kota-kota yang masih relatif sedikit sebagaimana acara safari silahturahim Anies.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button