Buya Yahya Dianugerahi Profesor Kehormatan Bidang Hukum Islam dari Unissula Semarang
Semarang (SI Online) – Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Prof Dr Gunarto mengukuhkan KH Yahya Zaenul Maarif atau yang dikenal dengan sapaan Buya Yahya sebagai guru besar (profesor) kehormatan Unissula, Kamis (19/1/2023).
Pengasuh Pesantren Al Bahjah, Cirebon itu menjadi guru besar ke-13 yang dimiliki Fakultas Hukum Unissula.
Ulama kelahiran Blitar, 10 Agustus 1973 itu dinilai sangat layak memperoleh gelar profesor kehormatan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Gunarto mengungkapkan, secara keilmuan hukum Islam atau fikh, Buya Yahya mumpuni. Ia juga memiliki karya-karya jurnal yang diterbitkan di jurnal internasional dan jurnal nasional Sinta 2, serta menerbitkan cukup banyak buku.
“Selain itu latar belakang pendidikan beliau juga hebat, menempuh S1, S2 dan S3 di perguruan tinggi ternama di Yaman. Juga lulusan S3 hukum Islam dari American University for Human Science tahun 2021,” ungkap Gunarto.
“Mewakili Mendikbudristek sebagaimana amanah dalam pasal 3 Permendikbudristek No. 38 tahun 2022 tentang Pemberian Gelar Guru Besar Kehormatan, hari ini kami mengukuhkan profesor kehormatan kepada Prof Yahya Zaenul Muarif, Lc., MA., PhD. Semoga Allah SWT merahmati,” ungkapnya.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar, Buya Yahya menyampaikan ada tugas besar yang diemban manusia yaitu cinta damai, adil dan nyaman. Untuk ini perlu rambu yang mengatur manusia agar manusia tidak merusak bumi. Aturan itu berupa agama Islam.
“Rambu-rambu itu ilmu fikh, harus ditekuni ilmu ini. Di sisi lain dalam menerapkan fikh diperlukan pemahaman tentang manusia secara utuh. Kalau tidak maka ilmu itu akan mentah. Fikh tidak cukup mengandalkan kepakaran tetapi juga kolaborasi dengan pakar pakar bidang lainnya,” ungkap Buya Yahya.
Menurut Buya Yahya, seorang ahli fiqih harus mengetahui batas yang tidak boleh ia lampaui. Jika sudah sampai batasanya, ia harus mempercayakan keputusan hukum kepada pakar disiplin ilmu yang lainnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, ahli fikih harus mampu berkomunikasi efektif dengan para pakar disiplin ilmu yang lain begitu juga sebaliknya. Sehingga produk hukum yang dihasilkan akan menjadi solusi besar problematika umat.
Ia mencontohkan seorang ahli fiqih yang tidak tahu permasalahan bayi tabung harus duduk dan bertanya panjang lebar kepada dokter yang mengerti urusan tersebut. Dan pembahasannya pun tidak hanya seputar bayi tabung dari segi kedokteran saja, akan tetapi ada pembahasan lain yang mengiringi proses pelaksanaan bayi tabung.