PHK Marak, Nasib Buruh Makin Keruh
Gelombang PHK kembali menerjang buruh. Lesunya ekonomi karena pandemi menjadi penyebabnya. Nasib buruh dipastikan makin keruh. Sementara bagi pengusaha, PHK seolah menjadi jalan mengamankan aset tanpa peduli nasib buruh. Inilah potret buram buruh dalam naungan sistem kapitalisme. Entah kapan kesejahteraan hakiki manis dikecap oleh buruh?
PT Tuntex Garment salah satu pabrik tekstil yang berlokasi di Cikupa, Kabupaten Tangerang dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 1.163 pekerjanya. Perusahan tersebut merupakan perusahaan yang banyak memproduksi untuk baju kenamaan dunia seperti Puma. Mirisnya, PT Tuntex Garment bukanlah pabrik pertama di Kabupaten Tangerang yang melakukan PHK terhadap pekerjanya. Sebelumnya di awal pandemi Covid-19, PHK massal juga menerjang PT Victory Chingluh, PT KMK, Panarub hingga Nikomas. (cnbcindonesia.com, 4/4/2023).
PHK massal di wilayah Kabupaten Tangerang jelas menambah daftar panjang jumlah PHK massal di Indonesia. Data terakhir dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan ada satu juta pekerja terkena PHK sepanjang 2022. Data ini mengacu dari data BPJS Ketenagakerjaan yang mencatat ada 919.071 klaim JHT yang diambil dengan alasan PHK sepanjang Januari hingga November 2022.
Apindo pun memproyeksikan badai PHK bakal terus berlanjut pada 2023 seiring dengan kondisi ekonomi global yang belum membaik. Sebab, kinerja ekonomi global sangat berdampak terhadap sektor ketenagakerjaan, terutama sektor usaha yang bergantung pada ekspor. (bisnis.com, 13/2/2023).
Fenomena PHK massal jelas menunjukkan abainya negara atas nasib rakyat dalam menjamin kebutuhan pokoknya. Negara gagal menjadi pelayan rakyat, tetapi justru menjadi regulator bagi kepentingan para pemilik modal. Inilah borok asli kapitalisme, mengakomodasi para kapitalis, mengabaikan hajat hidup rakyat.
PHK jelas menjadi momok menakutkan bagi para buruh. Sudah ekonomi kian susah, harus kehilangan sumber mencari nafkah. Mau mencari kerja lebih susah, mau merintis usaha kepayahan. Sementara kebutuhan hidup harus dipenuhi setiap hari. Mengandalkan JHT pun lama-lama habis.
Maraknya PHK niscaya juga melahirkan masalah baru. Tingkat pengangguran yang tinggi tidak hanya meningkatkan kemiskinan, tetapi juga kejahatan. Sudah ekonomi susah, kejahatan merajalela. Lengkap sudah derita rakyat papa hidup dalam naungan sistem serakah.
Mengharapkan hidup buruh sejahtera dalam naungan sistem kapitalisme, rasanya hanya utopia. Sistem ini nyata melahirkan regulasi yang mencekik buruh. UU Cipta Kerja adalah bukti nyata regulasi yang tidak berpihak kepada kepentingan buruh. Sebaliknya, disahkannya kembali undang-undang ini menjadi bukti konkret bahwa regulasi yang ada senantiasa mengakomodasi kepentingan oligarki kapital.
Kesejahteraan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Kesejahteraan jelas impian semua rakyat, tak terkecuali buruh. Sayangnya, sistem kapitalisme gagal mewujudkannya. Alhasil, rakyat membutuhkan sistem sahih yang mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki. Sistem ini tidak lain adalah Islam.
Paradigma Islam memandang, pemimpin adalah pengurus urusan rakyatnya. Menjadi kewajiban dan tanggung jawab penguasa untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, sebagaimana sabda Baginda Nabi Saw, “Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Dalam naungan sistem Islam, pemimpin merupakan pelaksana hukum syariah maka wajib bagi pemimpin menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai asas dan pengatur seluruh urusan umat, termasuk dalam aspek ekonomi. Penerapan sistem ekonomi Islam niscaya membawa berkah. Sebab, sistem ini meniadakan riba dan kontrol individu/swasta/asing terhadap perekonomian negara. Penerapan sistem ekonomi Islam semata-mata ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Penerapan sistem ekonomi Islam niscaya menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan pelayanan publik. Untuk itu, wajib bagi negara memaksimalkan potensi baitulmal yang mana salah satu sumbernya berasal dari harta kepemilikan umum, seperti hutan, minyak bumi, gas, dan tambang.