SUARA PEMBACA

Membasuh Duka Buruh Perempuan

Hari Buruh Internasional sudah lama berlalu. Namun, sederet persoalan buruh belum juga surut. Tidak hanya kesejahteraan buruh yang makin jauh. Buruh pun kerap dihadapkan dengan berbagai kasus kekerasan dan pelecehan seksual hingga perdagangan manusia.

Ya, belum usai kasus buruh migran yang mengalami penyekapan dan penyiksaan di Myanmar. Publik kembali dikejutkan dengan kabar sebuah perusahaan di Cikarang yang diduga mensyaratkan staycation kepada pekerja perempuannya sebagai syarat memperpanjang kontrak.

Mirisnya, sejumlah organisasi buruh mengungkapkan bahwa fenomena staycation sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Data LSM Mahardhika pada 2017 mencatat setidaknya ada sembilan kasus buruh yang diajak kencan dan berorientasi seksual oleh atasan perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara.

Koordinator LSM Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, pun menyebutkan fenomena syarat staycation sudah menjadi rahasia umum di antara sesama buruh pabrik. Mirisnya, hampir tidak pernah ada yang berani melaporkan kasus ini pada serikat pekerja, sebab diancam bakal dipecat lantaran statusnya yang masih kontrak.

Data LSM Mahardhika pun mengungkapkan, adanya temuan pada 2017 bahwa 437 buruh perempuan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) mengaku pernah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Terungkapnya fenomena ini ke permukaan pun memunculkan kekhawatiran baru, mengingat keberadaan UU Cipta Kerja. Kepala Divisi Anak dan Perempuan DPP Serikat Pekerja Nasional (SPN), Sumiyati, menilai dengan adanya UU Cipta Kerja yang tidak lagi membatasi periode kontrak (niscaya) membuat buruh makin rentan diperdaya. (bbc.com, 8-05-2023).

Inilah wajah buruk kapitalisme yang makin mengoyak fitrah perempuan. Kapitalisme nyata menempatkan perempuan di posisi yang serba sulit. Seruan kesetaraan gender yang gencar mendorong perempuan berkiprah seluas-luasnya di ranah publik, nyatanya tidak dibarengi dengan jaminan keamanan, kehormatan, dan keselamatannya.

Regulasi yang ada pun terbukti gagal menuntaskan seabrek kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa perempuan. Sebaliknya, berbagai regulasi yang lahir dari rahim kapitalisme justru menimbulkan segudang persoalan baru yang lagi dan lagi menimpa perempuan.

Kondisi ekonomi yang makin sulit, ditambah minimnya iman yang tergerus sekularisme, kerap mendesak kaum hawa untuk menghalalkan segala cara. Tidak heran, menggadaikan kehormatan pun sering kali menjadi pilihan, asal pundi-pundi rupiah dalam genggaman. Inilah potret kelam perempuan dalam jeratan kapitalisme.

Derita buruh perempuan sejatinya gambaran duka perempuan yang tak berkesudahan dalam belenggu kapitalisme. Sistem ini nyata tidak pernah berpihak kepada kaum papa, termasuk para buruh perempuan. Alhasil, membasuh duka dan luka buruh perempuan mustahil dilakukan selama kapitalisme bercokol di negeri. Perempuan butuh sistem yang mampu mengembalikan dan menjaga fitrahnya sebagai ibu generasi. Sistem ini tidak lain adalah Islam.

Segudang problematika perempuan, termasuk di bidang perburuhan, niscaya mustahil terjadi di dalam naungan sistem Islam. Paradigma Islam nyata menempatkan perempuan pada kedudukan yang mulia. Tidak ada yang membedakan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah SWT, kecuali ketakwaannya. Keduanya sama-sama mulia jika menjalankan perannya sesuai koridor syarak, baik di ranah domestik maupun publik.

Dalam pandangan Islam, perempuan bahkan memiliki peran penting dan strategis sebagai ibu generasi. Peran penting dan strategis inilah yang wajib dijaga oleh negara agar kelak lahir generasi terbaik umat manusia. Untuk itu, butuh penerapan sistem Islam secara komprehensif agar peran ini dapat terwujud dan terjaga secara paripurna.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button