Soekarno, Pelacuran dan G30S PKI (Bag-3)
Soekarno dan G30S PKI
Prof. Salim Haji Said dalam bukunya “Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto”, menuliskan pengalamannya menjelang G30S:
”Pada 30 September siang, saya jumpa atasan saya itu di kantornya di Merdeka Barat, kantor Kementerian Pertahanan sekarang. Soegandhi menceritakan dengan nada sedih. Beliau pagi itu menemui mantan bosnya di Istana Merdeka untuk menjelaskan dan membantah isu adanya “Dewan Jenderal” di dalam Angkatan Darat. Soegandhi juga mencoba meyakinkan Soekarno bahwa Jenderal Yani itu sangat loyal kepadanya, dan Aidit itu sedang merencanakan perebutan kekuasaan. “Gandhi kau tahu apa?” Kau itu sudah dicekoki Nasution,” kata Soekarno dengan marah sambil membentak dan mengusir mantan ajudannya itu. (Mayjen TNI Soegandhi Kartosubroto adalah mantan komandan pengawal presiden (1946-1948).
Di kemudian hari baru kami tahu, sebelum mendatangi Soekarno di Istana Merdeka, Soegandhi juga telah mengunjungi Jenderal Yani menyampaikan informasi menyampaikan informasi PKI akan melakukan kudeta dengan alasan yang berbeda, Soekarno dan Yani menyepelekan informasi Soegandhi, Informasi yang demikian kabarnya memang sudah beberapa kali, oleh beberapa orang, disampaikan kepada Yani.”
Dalam bukunya ini Salim Said juga menjelaskan tentang peranan Pramoedya di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat -milik PKI) yang membabat kelompok-kelompok lain. Salim menulis:
”Setelah Manifes Kebudayaan -pernyataan sikap budaya para seniman dan budayawan non Komunis- dilarang oleh Soekarno pada 1964 dan para pendukungnya jadi sasaran pengganyangan PKI, lampiran kebudayaan di koran Partindo itu secara teratur juga membuat nama dan alamat para penandatangan Manifes Kebudayaan yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Dengan alamat di tangan, para pemuda komunis dengan mudah melancarkan teror kepada seniman-seniman yang mereka juluki dengan Manikebu. Makin mendekati operasi Gestapu (Gerakan September 30) makin ganas saja ‘pembabatan’ yang dipimpin Pramoedya. Tokoh-tokoh seperti Hamka -novelis dan ulama besar yang di kemudian hari menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia -adalah satu target Pramoedya. Tulisan yang menyerang Hamka yang ditulis dengan sejumlah nama samaran muncul setiap Sabtu di lampiran budaya Lentera.”
Pagi buta 15 Januari 1965 tatkala para peserta pelatihan sedang bersiap-siap melakukan shalat subuh di masjid, orang-orang komunis itu secara mendadak menyerang mereka. Selain secara fisik menganiaya kader-kader PII itu, Kitab Suci Al-Qur’an juga mereka injak-injak. Aksi yang menistakan Al-Qur’an ini memicu kemarahan para kiai di hampir semua pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Nanti setelah Gestapu, para santri dan kiai dari berbagai pesantren tersebut kabarnya banyak yang ikut memainkan peran dalam pembantaian orang-orang komunis.
Dalam rangka gerakan aksi sepihak oleh BTI (Barisan Tani Indonesia), salah satu yang menjadi sasaran ialah tanah-tanah milik pesantren (umumnya tanah wakaf) selain milik-milik tokoh Marhaenis. Yang juga menjadi sasaran PKI dan ormas-ormasnya ialah agama pada umumnya. Di Jawa Tengah misalnya, Bakoksi (Badan Koordinasi Ketoprak Seluruh Indonesia), grup ketoprak yang berafiliasi ke Lekra, berkeliling memainkan lakon ‘Matine Gusti Allah’, artinya matinya Tuhan Allah; ‘Gusti Allah Manten’ artinya Tuhan Allah kawin; ‘Malaikat Kimpol’ artinya malaikat bersenggama, ‘Gusti Allah ngunduh mantu’ artinya Tuhan Allah menjemput menantu. Orang Katolik juga jadi sasaran. Anggota Bakoksi memainkan lakon ‘Paus rabi’ yang mengisahkan Paus Kawin. (Lihat Salim Said, Gestapu 65, Mizan, 2015).
Pada hari-hari menjelang Gestapu, sasaran terpenting pengganyangan PKI ialah HMI, organisasi mahasiswa terbesar waktu itu. “Kalau tidak bisa membubarkan HMI, pakai sarung saja,” kata Aidit menghasut para anggota CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi mahasiswa Komunis, dalam pidatonya di Istora Senayan beberapa hari menjelang Gestapu.
Puncak penghancuran kekuatan anti komunis di kalangan media terjadi ketika, atas tekanan PKI dari golongan kiri lainnya, Soekarno membubarkan Badan Pembela Soekarnoisme (BPS). Kegiatan BPS ialah menyebarluaskan Soekarnoisme, yakni ajaran-ajaran Presiden Soekarno sebagai usaha membendung kampanye politik dan ideologi PKI. Sejumlah besar koran memuat seri tulisan Sayuti Melik -dikenal sebagai murid politik Bung Karno sejak zaman Pergerakan Nasional- mengenai ajaran Bung Karno itu. BPS dituduh PKI sebagai ‘membunuh Soekarno dengan Soekarnoisme.” Anehnya, menurut Prof Salim Said, Soekarno sepakat dengan tuduhan PKI. BPS bukan saja dibubarkan, sebagian besar koran yang secara teratur memuat seri tulisan Sayuti Melik, juga diberangus. Pengangguran wartawan secara besar-besaran terjadi.
Prof Salim Said selanjutnya menjelaskan, ”Pada waktu yang sama, sebagai hasil ofensif revolusioner kaum komunis, sejumlah universitas juga telah berhasil mereka bersihkan dari pengajar, dosen dan profesor yang tidak berhasil mereka jinakkan. Para profesor ekonomi di Universitas Gajah Mada, misalnya, dicap Soekarno sebagai ‘textbook thinking’ yang tidak mengerti revolusi. Mereka bahkan dituduh reaksioner. Dalam posisi demikian, para profesor itu lalu dengan mudah menjadi sasaran empuk ‘pengganyangan’ para mahasiswa kiri di Universitas Gajah Mada.
Dalam bidang kebudayaan, sebagai akibat pelarangan Manifes Kebudayaan, misalnya, dosen dan kritikus sastra terkemuka Indonesia, dr. HB Jassin, terusir dari Fakultas Sastra Indonesia. Yang juga jadi korban ialah penyair Taufiq Ismail. Sebagai dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), rencana keberangkatan Taufiq melanjutkan pendidikannya di Amerika sempat ditunda oleh rektor hanya beberapa hari sebelum keberangkatannya.
“Keputusan penundaan saya terima empat hari sebelum kami direncanakan berangkat. Tiket, visa dan semua dokumen sudah di tangan,” kenang Taufiq Ismail. Dokter hewan, penyair terkenal dan salah seorang penandatangan Manifes Kebudayaan. Taufiq Ismail akhirnya tidak pernah mendapat kesempatan melanjutkan studinya di Amerika.