QUR'AN-HADITS

Keunikan di Balik Bunyi Ghunnah, Quwwah dan Hams

Di antara banyak cabang ilmu keislaman, ilmu tajwid mungkin menjadi salah satu yang paling akrab bagi kita, khususnya umat Islam. Sejak kecil, banyak dari kita yang sudah dikenalkan ilmu tajwid oleh orang tua atau guru, baik itu di sekolah, TPQ, atau lembaga pendidikan lainnya.

Kita diajarkan dengan berbagai metode yang menyenangkan, ada yang melalui lagu, ada yang lewat hafalan singkat, dan ada pula yang dibantu dengan tabel atau kartu-kartu warna. Dalam banyak kasus, tajwid tumbuh bersama kebiasaan membaca Al-Qur’an, hingga terasa menyatu dengan rutinitas keagamaan sehari-hari.

Namun justru dengan metode yang seperti itu, kita jarang memberi jarak untuk bertanya ulang. Tajwid sering diterima apa adanya, seperti sesuatu yang memang harus begitu. Kita tahu bahwa ghunnah berarti dengung, qalqalah harus terdengar memantul, dan ada huruf-huruf tertentu yang harus dibaca samar atau jelas. Tapi jarang sekali kita diajak memikirkan ulang: mengapa bunyinya harus seperti itu? Kenapa dengung? Kenapa samar?

Suara-suara itu seolah hanya perlu dikeluarkan dengan benar. Tajwid pun perlahan menjadi urusan hasil akhir suara yang terdengar pas di telinga, tanpa jejak tanya dari mana bentuk suara itu berasal.

Baru-baru ini, saya mempelajari ilmu filologi. Kemudian saya menemukan sebuah manuskrip kitab tajwid lama yang isinya cukup menarik. Istilah-istilah yang saya temukan di dalamnya sama dengan istilah yang kita pelajari dalam ilmu tajwid seperti ghunnah, hams, quwwah, dan lainnya. Tapi ketika saya membaca penjelasannya, saya merasa seperti sedang memasuki cara pandang yang berbeda.

Kitab itu tidak sekadar menjelaskan “apa itu ghunnah” atau “bagaimana cara melafalkan hams,” melainkan mencoba membawa pembacanya membayangkan bunyi tersebut melalui perumpamaan, gambaran, dan bahasa yang selama ini belum pernah saya dengar.

Alih-alih menggunakan istilah linguistik atau tabel-tabel pengucapan, penulis kitab itu memilih menjelaskan suara melalui sebuah perumpamaan. Ada yang menggambarkan bunyi seperti erangan hewan, ada yang menjelaskan kekuatan huruf lewat cara napas bergerak, dan ada juga yang menunjukkan kelembutan bunyi dari seberapa sedikit tenaga yang dipakai untuk mengucapkannya. Rasanya seperti diajak menyelami suara, bukan sekadar memproduksinya.

Akan tetapi pada kitab tersebut tidak disebutkan siapa pengarangnya, dan tidak pula dicantumkan tahun penulisannya secara pasti. Tapi dari gaya bahasanya yang memakai ungkapan-ungkapan perumpamaan dan tidak terlalu banyak istilah teknis, saya menduga naskah ini dibuat untuk pembaca yang orang awam, mungkin seperti santri, atau para pembelajar Al-Qur’an di pesantren masa lalu.

Isinya memang masih membahas tajwid seperti yang kita kenal hari ini, tapi cara penyampaiannya terasa lebih luwes dan naratif. Penulisnya sering menggunakan analogi dari kehidupan sehari-hari. Ia tidak sekadar menjelaskan bagaimana huruf diucapkan, tapi juga mencoba membangun kesan bunyi melalui suasana. Inilah yang membuat manuskrip ini terasa berbeda.

Sebenarnya ada cukup banyak istilah yang menarik perhatian saya dalam kitab itu. Beberapa di antaranya bahkan belum pernah saya dengar sebelumnya. Tapi di tulisan ini, saya hanya ingin membagikan tiga yang menurut saya paling unik yaitu tentang ghunnah, quwwah, dan hams.

Istilah pertama yang menarik perhatian saya adalah tentang ghunnah. Kita biasa mengenalnya sebagai “dengung” yaitu suara yang muncul pada huruf-huruf seperti ن ( nun ) dan م (mim) dalam kondisi tertentu. Tapi dalam kitab ini, penjelasannya tidak hanya menyebutkan bahwa ghunnah adalah suara dengung. Yang tertulis di dalamnya adalah;

الغنى صوت اغن لا عمل للسان شبيه بصوت الغزل إذا ضاع ولدها

“Ghunnah adalah suara berdengung yang tidak melibatkan lidah, mirip dengan suara kijang betina ketika kehilangan anaknya.”

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button