Abaikan Sains dan Suara Rakyat, Libatkan Aparat, Maksa New Normal?
Pemerintah tampak serius ingin segera menerapkan new normal di tengah pandemi yang belum kelar. Sinyal ini semakin menguat melihat kondisi ekonomi yang semakin lesu dan lemah. Keseriusan ini dibuktikan Presiden Joko Widodo dengan mengerahkan ratusan ribu personel TNI-Polri secara massif guna menyambut new normal.
Presiden mengatakan pasukan TNI-Polri akan digelar di setiap keramaian guna mendisiplinkan warga terhadap protokol kesehatan. Ia juga menginginkan masyarakat tetap produktif, tetapi aman dari Covid-19. Pernyataan ini disampaikan kala presiden meninjau kesiapan penerapan new normal di Mall Summarecon, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/5). (okezone.com, 26/5/2020).
Gayung pun bersambut. Polda Jabar dikabarkan menyiapkan 17 ribu personel untuk mengawal new normal. Kepala Bidang Humas Polda Jabar Komisaris Besar Saptono Erlangga mengatakan, ke-17 ribu personel dari Polda Jabar tersebut akan mengawal pelaksanaan new normal di 15 wilayah yang tersebar di Jabar. (liputan6.com, 1/6/2020).
Libatkan Aparat Undang Masalah
Melibatkan aparat TNI-Polri untuk menyambut new normal, justru mengundang masalah baru. Di masa PSBB saja, Ombudsman RI menemukan sejumlah tindak kekerasan yang dilakukan aparat di sejumlah daerah. Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu menyebut tindakan kekerasan yang dilakukan aparat di sejumlah wilayah itu perlu menjadi perhatian. Ia menambahkan tindakan kekerasan ini ditemukan di beberapa wilayah seperti di Ambon, Sulawesi Tengah, Labuan Bajo hingga Aceh. (suara.com, 3/6/2020).
Pelibatan personel aparat ini pun mengundang kritik dari berbagai kalangan. Kepala Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar angkat bicara. Ia mengatakan tidak setuju dengan pelibatan aparat. Menurutnya, hal itu membentuk situasi tidak normal, bukan pengkondisian kelaziman baru. Ia juga menyebut pengerahan aparat malah cenderung masuk ke ranah sipil dan membuka potensi berbuat sewenang-wenang. Keterlibatan aparat juga menyusutkan kebebasan sipil.
Pendapat senada juga dikatakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Menurutnya, pelibatan TNI-Polri tidak tepat. Jika memang ada kekhawatiran tentang gejolak sosial, maka pendekatannya pun harus berbasis pada kemanusiaan. Bukan didekati dengan pendekatan TNI. Karena itu sama artinya dengan mengerahkan kekuatan perang dalam menghadapi ancaman yang bukan perang. (tirto.id, 28/6/2020).
Beneran New Normal atau Maksa New Normal?
Beneran new normal atau maksa new normal? Itulah yang dirasakan oleh masyarakat hari ini. Alih-alih asa bebas Corona teraih di bulan Mei, masyarakat justru dipaksa menyambut new normal di saat kurva belum melandai. Melihat kegagapan dan kegagalan pemerintah menangani pandemi. Publik pun kembali dibuat was-was, sembari bertanya siapkah menyambut new normal?
New normal yang dimaksudkan pemerintah merupakan tatanan kehidupan baru guna beradaptasi dengan Covid-19. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan dan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita mengungkapkan new normal life yang akan dijalankan, adalah beraktivitas di luar rumah seperti biasanya ditambah dengan protokoler kesehatan. New normal dilakukan karena belum ditemukannya obat dan vaksin Covid-19. (cnbcindonesia.com, 27/5/2020). Wacana ini seolah menjadi ejawantah pernyataan presiden ‘berdamai dengan Covid-19’, yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.
Memaksa new normal dengan melibatkan aparat jelas membawa dampak negatif di tengah masyarakat. Tidak hanya berpeluang timbul penyalahgunaan kekuasaan, tapi juga keresahan masyarakat. Memaksakan kondisi normal di tengah rakyat yang masih dibayang-bayangi virus ganas, jelas mempengaruhi imunitas diri dan sosial. Apatah lagi dibawah tekanan aparat yang mendapat mandat dari penguasa.