Ada Dominasi Asing dalam Pembangunan Ibu Kota Baru?
Pemerintah Indonesia tampaknya mulai melangkah pada tahap yang lebih serius untuk menggarap pembangunan ibu kota baru. Dari mulai wacana yang merebak hingga peresmian keputusannya di akhir Agustus 2019. Seperti yang telah kita ketahui, ibu kota negara (IKN) baru akan berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Hal yang saat ini menjadi sorotan adalah juga rencana keterlibatan asing dalam proyek pembangunan IKN ini.
Pada 12 Januari 2020, Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan (MBZ), Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA). Dalam pertemuan ini, didapatkan hasil bahwa MBZ akan menjadi Ketua Dewan Pengarah Pembangunan Ibu Kota Baru. MBZ akan dibantu oleh dua anggota lainnya, yaitu CEO Soft Bank Masayoshi Son dan mantan Perdana Menteri Inggris 1997-2007, Tony Blair. Alasan dipilihnya tokoh-tokoh internasional ini untuk membangun kepercayaan dunia internasional terhadap rencana pembangunan ibu kota baru yang pada akhirnya tetap bertujuan untuk mengalirkan investasi asing ke mega-proyek tersebut.
Selain itu, sejumlah konsultan asing juga menawarkan diri terlibat dalam desain ibu kota negara baru. Setidaknya telah ada tiga negara yang berpeluang ikut serta, yakni konsultan dari Amerika Serikat, Jepang dan Cina. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, menjelaskan bahwa keterlibatan asing ini akan masuk dalam kerangka kerja sama bilateral antara Indonesia dengan negara-negara bersangkutan (CNBC Indonesia, 2020).
Dari fakta di atas terlihat jelas bagaimana keterlibatan asing dalam proyek pembangunan ibu kota baru. Hal inilah yang banyak disorot berbagai kalangan. Publik menganggap peran besar asing berarti memperbesar intervensi kepentingan mereka di negeri ini. Bagaimana tidak, mengapa untuk pembangunan dalam negeri sendiri perlu menggunakan kucuran dana serta keikutsertaan asing? Terlebih lagi, ini merupakan pembangunan ibu kota yang merupakan pusat administratif, politik dan ekonomi. Maka memberi celah kepada asing untuk berperan serta dalam pembangunan sama saja dengan memberikan mereka lahan basah untuk menancapkan penjajahan gaya baru, penjajahan politik ekonomi.
Nailul Huda, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan manajemen risiko jika ingin melibatkan investor asing dalam pembangunan ibu kota baru (ekbis.sindonews, 2020). Menurutnya, justru investor dalam negeri yang harus diutamakan mengingat risikonya yang kecil. Sekretaris Bidang Ekuintek Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Handi Idris, juga mengaku tercengang dengan rencana investasi Softbank di IKN yang mencapai nilai US$30 miliar atau sekitar Rp420 triliun. Handi khawatir separuh lahan ibu kota baru nantinya bisa dikelola oleh Softbank melihat nilai investasi yang bombastis (CNN, 2020). Pihak lain juga menilai keterlibatan asing dalam pembangunan IKN bahkan dapat mengancam kedaulatan negara karena berkaitan dengan keamanan negara.
Inilah yang terjadi ketika tata kelola negara dibangun di atas sistem kapitalisme. Negara menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai transaksi investasi layaknya jual beli dan tentunya berangkat dari asas untung-rugi. Padahal dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah, negara akan membangun serta memgembangkan infrastruktur semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Visi ini juga dibangun dengan mindset anti-penjajahan yang salah satunya diwujudkan dengan kebijakan waspada dan tegas dalam menjalin hubungan dengan asing.
Dalam sistem Khilafah, pembangunan infrastruktur harus berjalan dengan orientasi untuk kesejahteraan masyarakat serta untuk kemuliaan Islam. Bila suatu kondisi mengharuskan negara untuk bekerja sama dengan pihak ketiga, maka kerja sama tersebut harus menguntungkan bagi umat Islam. Bukan justru masuk dalam jebakan utang, yang menjadikan posisi negara lemah di mata negara lain atau pihak ketiga.
Salah satu peristiwa yang dapat kita jadikan contoh tatkala Khalifah Umar membuat perjanjian antara para gubernurnya dan berbagai negeri yang berhasil ditaklukkan. Saat Nawahand ditaklukkan, para pemilik sumur di kawasan Hardzan dan Dinar diberikan jaminan keamanan oleh gubernur, namun mereka berkewajiban untuk membayar upeti, menunjukkan jalan pada Ibnu Sabil, memperbaiki jalan, menjamu tentara muslim saat melewati kawasan mereka, serta mengizinkan untuk singgah selama satu hari satu malam dan memberi nasihat (muslimahnewsid, 2020). Perjanjian ini dibuat pada tahun 19 H, bila para pemilik sumur tersebut melanggar perjanjian maka tanggungan tersebut terbebas dari pihak kaum Muslimin. Ini menunjukkan bahwa kerja sama dengan pihak ketiga dalam pembangunan haruslah menjaga kemuliaan kaum Muslimin dan Islam, tidak bertekuk lutut pada utang, atau bahkan terjebak dalam tekanan pihak asing. Wallahu’alam bishawab.[]
Rissa Septiani Mulyana, S.Psi
Warga Ciamis, Jawa Barat