NUIM HIDAYAT

Akal, Adab dan Kejayaan Bangsa

“Berjuanglah untuk memperoleh pelbagai ilmu dan peliharakan. Wahai pemuda jika kamu dapat menyebarkan ilmu niscaya kamu yang sempurna keperwiraannya. Himpunlah pelbagai kitab yang diciptakan. Allah berfirman kepada Nabi Yahya, peganglah kitab yang diwahyukan serta dengan kesungguhan.” (Syekh Ahmad al Fattani)

Tahun 1850 Masehi, di Melayu (Riau) muncullah kitab yang monumental yang ditulis Raja Ali Haji yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu berjudul “Bustan al Katibin.” Menurut Prof. Hashim bin Musa dari Universiti Malaya, kitab ini merupakan tulisan paling awal tentang bahasa Melayu yang disusun oleh orang Melayu.

Delapan tahun kemudian (1858 M), Raja Ali Haji juga menulis tentang bahasa Melayu, yaitu “Pengetahuan Bahasa: Kamus Loghat Melayu Johor, Pahang, Riau dan Lingga.”

“Sesungguhnya karya-karya tentang bahasa Melayu oleh Raja Ali Haji ini merupakan warisan yang amat berharga yang menjadi penyambung kepada tradisi pengajian bahasa dalam Islam yang bermula sejak zaman awal Islam lagi, terang Prof Hashim yang memberi pengantar dan memperkenalkan kitab ini. (Bustan al Katibin, Raja Ali Haji, 2005: xiii).

Dalam Islam, memang ada keterkaitan yang dalam antara pemahaman bahasa atau ilmu dengan pentauhidan kepada Allah.

“Dalam Islam, pengajian bahasa khususnya bahasa Arab dan bahasa penganut Islam yang lain, merupakan ilmu alat untuk mencapai makrifat yaitu mengenali Allah dan seluruh kewujudan, memperteguh keimanan dan ketakwaan, dan menyemai adab kesopanan yang mulia, yang mengandungi antara lain ilmu-ilmu nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi), qawaid (bahasa), mantiq (logika), balaghah (retorik), istidlal (pendalilan), kalam (penghujahan) dan sebagainya,”ungkap Prof. Hashim.

Dalam kitab Bustanul Katibin ini, Raja Ali Haji memulai dengan Muqaddimah berjudul “Fi Fadhilati al ilmu wal aqlu” (Kelebihan Ilmu dan Akal). Pertamanya ia mengutip hadits Rasulullah yang terkenal: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad diin).

Kemudian Ali Haji menyatakan: “Adapun kelebihan akal itu seperti kata hukama husnu haliah, artinya akal itu sebaik-baik perhiasan. Dan lagi kata hukama al fadhlu bil aqli wal adabu la bil ahli wan nasabi, artinya kelebihan itu (pada) akal dan adab dan tiada (bukan) sebab bangsa dan asal.” Maka, terangnya, “Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya.”

Di sini, Ali Haji mengaitkan hubungan yang erat antara ilmu, akal dan adab. Artinya agar akal dan adab seseorang, masyarakat atau bangsa menjadi baik (menjadi unggul), maka mesti diberi ilmu yang benar. Lebih tegas lagi, Ali Haji menyatakan : “Man sa’a adabahu dha’an nasbahu, artinya barangsiapa jahat adabnya sia-sialah bangsanya.”

Selain itu, ulama, penasihat raja dan sastrawan dari Riau ini juga menjelaskan tentang tanda-tanda orang berakal. Ia mengungkapkan: ”Dan lagi kata Hukama, bermula itu akal basra’atul fahm, artinya, tanda berakal segera paham dan tahratul aqlu husnul ikhtiar wa dalil li tahu sahbatul ikhtiara, artinya buah akal itu membaikkan ikhtiar, dan tandanya bersahabat dengan orang yang pilihan daripada orang yang baik-baik.”

Kemudian, Ali Haji menunjukkan hubungan ilmu dengan kalam (kalimat/bahasa). ”Adapun kelebihan ilmu wal kalam amat besar sehingganya mengata setengah hukama, segala pekerjaan pedang boleh diperbuat dengan qalam. Adapun pekerjaan-pekerjaan qalam tiada boleh diperbuat dengan pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris qalam jadi tersarung, terkadang jadi tertangkap dan terikat dengan pedang sekali.”

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button