Ali bin Abi Thalib: Pemimpin Pembawa Cinta
Wajahnya mirip Rasulullah Saw. Sejak kecil dididik dengan tangan suci. Ia melihat bagaimana Rasul dan istrinya sehari-hari di rumah. Ia melihat bagaimana Rasul ‘menerima wahyu’, Rasul berjihad, Rasul berdakwah dan Rasul bertahan menghadapi berbagai cacian dan serangan dari kaum kafir Quraisy.
Keteguhan dan keberaniannya membuat Rasul mengambil keputusan yang membuat bangga seumur hidupnya. Menggantikan Rasul dalam selimut untuk mengelabuhi para pemuda kafir yang ingin membunuh beliau. Ali menerima perintah Rasul itu dengan senang hati, meski nyawa taruhannya.
Sayyidina Ali bukan hanya kali itu mendapat kepercayaan Rasulullah. Di Ghadir Khum pada 14 Hijriyah, ia disumpah untuk melanjutkan ajaran gurunya. Nabi melingkarkan serban hitam di kepalanya. ‘Man kuntu maulah, fa’aliyun maulah’, kata Nabi. (Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya/pemimpin, hendaknya Ali pun menjadinya maulanya).
Suatu kali Nabi mengatakan kepada Ali, ”Hai Ali, kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa as.”
Jabir bin Abdullah, seperti dikisahkan kembali oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Duurul Mantsur, bercerita: Suatu hari kami berkumpul bersama Nabi saw, Ali datang. Nabi berkata, “Demi Allah yang diriku berada dalam kekuasaannya, sesungguhnya orang ini dan ‘pengikutnya’ adalah orang-orang yang beruntung pada hari kiamat nanti.” Lalui turunlah ayat, Orang-orang yang beriman dan beramall shaleh, merekalah makhluk yang paling baik (khairul bariyyah) (Al Bayyinah 7), Sejak saat itu, setiap kali Ali lewat, para sahabat berkata: Telah datang khairul bariyyah._
Ketika Aisyah ra ditanya tentang akhlak Nabi, ia menjawab,”Akhlak Nabi itu Al-Qur’an.” Bila para sahabat ditanya bagaimana akhlak Ali, mereka akan berkata, ”Akhlak Ali itu akhlak Rasulullah Saw.”
Singa, asad. Itulah nama pertama yang diberikan ibunya. Nama itu diambil dari nama kakeknya, ayahanda iibunya, Fatimah binti Asad. Nama itu tak lama dipakai karena ibuunya memberi nama lain yang lebih lembut, Haidarah, macan. Ibunya ingin putranya tumbuh menjadi laki-laki pemberani. Bagi bangsa Arab, kemuliaan milik para pemberani. Kelak, harapan ibunya menjadi kenyataan, karena anak itu tumbuh menjadi laki-laki yang sangat pemberani. Salah satu singa padang pasir yang terkenal dalam sejarah manusia. Namun, nama pemberian ayahnyalah yang dikenal hingga akhir hayatnya, Ali, yang luhur.
Kemuliaan dan kesucian selalu menyertai kehidupannya. Sejak kecil ia terjaga dari kekejian dan kebodohan bangsa Arab jahiliyah. Sejak lahir hingga akhir hayatnya ia tidak pernah menyembah berhala. Seluruh sujud dalam hidupnya hanya untuk Allah Yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Maka ia dikenal sebagai pemilik wajah yang dimuliakan Allah, karramallahu wajhah.
Laki-laki pemberani mempunyai jiwa tawadhu’ yang luar biasa. Meski dalam dirinya penuh kemuliaan, ia lebih senang dipanggil dengan Abu Turab, laki-laki berdebu. Ia menyukai julukan itu karena yang memanggilnya nama itu pertama kali baginda Rasulullah. Suatu hari, layaknya rumah tangga yang lain, Ali kesal dengan istrinya Fatimah az Zahra putri Muhammad saw. Tapi tidak seperti kebanyakan para suami, saat marah ia menghindar, keluar rumah dan pergi ke masjid. Ia duduk bersandar pada salah satu dinding masjid Nabi. Tiba-tiba Nabi datang menghampiri. Nabi melihat punggung Ali dipenuhi debu, sehingga beliau membersihkan pakaian Ali dari debu itu dan berkata,”Hai laki-lakii yang berdebu, Abu Turab.”
Ada julukan lain, yang dipergunakan kalangan Syiah, sang Imam. Julukan ini dipergunakan kaum Syiah sebagai perwujudan konsep imamah dalam keyakinan mereka. Bagi mereka, Ali adalah imam pertama.
Benarkah Ali sebagai imam pertama? Bila kita tilik dengan cermat sejarah Sayidina Ali, ia layak sebagai pemimpin pertama. Tapi Ali bukan tipe orang yang haus kekuasaan. Ali orang yang tawadhu’. Ia tahu banyak sahabat lain yang lebih senior. Ia ‘menghindar’ dari kontestasi kekuasaan. Ketika para sahabat berunding tentang siapa yang paling layak menjadi pemimpin negara menggantikan Nabi, Ali lebih memilih mengurusi jenazah Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib bisa dikatakan sebagai ‘insan kamil’ (insan yang benar-benar kamil tentu Rasulullah). Ia adalah ahli ilmu. Rasulullah menyatakan bahwa beliau adalah gudangnya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Ia adalah sang Zahid, yang lebih mengutamakan ilmu dari harta dunia.