NUIM HIDAYAT

Ali Moertopo dan CSIS

Lelaki kelahiran Blora 23 September 1924 ini, disebut sebagai arsitek Orde Baru. Ia berperan besar dalam menaikkan Soeharto ke panggung kekuasaan. Ia juga saat itu mengondisikan gerakan mahasiswa, menjegal mereka yang berseberangan dengan Soeharto dan membentuk CSIS, organisasi penting yang merupakan think tank Orde Baru.

Ali juga tokoh penting dibalik suksesnya Golkar merajai pemilu di masa Orba. Dengan memerintahkan anak buahnya di Operasi Khusus untuk menyusup ke partai politik dan organisasi massa, sehingga mereka bisa dikendalikan. Ali juga tak segan-segan memberangus mereka yang berbeda dengan pemerintah. Beredel media massa, penangkapan aktivis mahasiswa, penyusupan ke gerakan Islam radikal dan operasi intelijen lainnya. Ali juga yang merekrut Benny Moerdani sehingga berperanan dalam politik Indonesia kemudian.

Bersama Soedjono Humardani, karibnya dan sesame asisten pribadi Soeharto, ia merintis berdirinya CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini berperan penting dalam mengendalikan kebijakan Soeharto. Bekerjasama dengan CSIS Ali menerbitkan buku Dasar-Dasar Pemikiran tentang Akselerasi Pembangunan 25 Tahun. Buku terbitan 1972 ini kemudian diterima MPR untuk merumuskan strategi jangka panjang Indonesia.

Ali mendukung penuh gerakan Soeharto untuk menghabisi PKI. Saat itu, Ali mendukung dan melindungi gerakan mahasiswa yang menginginkan kejatuhan Soekarno. Misalnya, ketika intel Tjakrabirawa memburu para aktivis, Ali menyembunyikan mereka di kantornya markas Komando Tempur II Kostrad, Jalan Kebon Sirih, Jakarta.

Ketika Sekretariat Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di kampus UI menjadi sasaran barisan pendukung Soekarno, Ali memberi tempat kepada kelompok itu untuk menginap juga di kantornya. Sofjan Wanandi –tokoh CSIS- dan sejumlah pentolan KAMI sering menginap di kantor Ali.

Ketika Soeharto menjadi Pejabat Presiden, Ali Moertopo dan kelompoknya terus melapangkan jalan di Senayan. Ali berusaha menyingkirkan sekitar 90 anggota parlemen pro Soekarno. Ali meminta Jusuf Wanandi dan kawan-kawan mencari kelompok yang pro kepemimpinan baru. “Itu pekerjaan pertama dari Pak Ali setelah PKI dibubarkan,” kata Jusuf Wanandi kepada Tim Tempo. (Lihat buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo, Tim Tempo dan KPG, 2017).

Tak mudah mencari orang sebanyak itu dalam waktu singkat. Jusuf Wanandi kemudian menyodorkan daftar yang terdiri atas 90 nama. Soeharto manggut-manggut tanda setuju. Lalu keluarlah Keputusan Presiden nomer 7 tahun 1967 yang mengatur penambahan anggota DPR GR. Masuklah 45 orang dari kalangan partai dan 63 orang dari Golkar. “Proses pengangkatan anggota baru DPR dengan Keppres ditandatangi Jenderal Soeharto,” kata Jenderal Nasution dalam sebuah wawancara.

Ali Moertopo juga sukses menggagalkan rancangan GBHN yang digagas Nasution dalam Sidang MPRS. Malam hari sebelum Sidang MPRS digelar, Ali dan kelompoknya antara lain Jusuf Wanandi, mendatangi rumah Soeharto. Mereka memberitahukan bahwa rancangan konstitusi dan GBHN yang disusun Nasution penuh jebakan. ‘Bapak tak bisa menerima rancangan yang disusun Nasuiton bersama militer yang sangat kanan itu,”ujar Ali.

Ali juga menjelaskan rancangan itu ‘ditumpangi agenda kelompok yang ingin menghidupkan syariat Islam’. Ali mencontohkan larangan berganti agama dalam rancangan amandemen konstitusi. Rancangan seperti itu, menurut Ali, juga bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Ali juga mengingatkan Soeharto bahwa jebakan ada dalam rancangan konstitusi tentang penyusunan kabinet. Nasution meminta kabinet dipilih presiden dengan meminta pertimbangan parlemen. Padahal menurut pandangan Ali, Indonesia menganut sistem presidensial bukan parlementer.

Dengan lobby intens dari Ali dan pendukungnya, akhirnya Soeharto setuju dan menyuruh membereskan di parlemen.

Besoknya, pendukung Soeharto datang ke sidang MPRS dengan agenda utama: membuang gaagsan Nasution cs dan memantapkan posisi Soeharto. Perdebatan di parlemen pun berlangsung panas. Kelompok pro Soeharto menentang habis-habisan argumen kubu Nasution. “Yang tua-tua itu kami sikat,” ujar Harry Tjan. Akhirnya semua draf yang dibuat Nasution cs ditolak siding. Pada 8 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden penuh.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button