Amien Rais dan Indonesia (4)
Menurut Amien Rais, hubungan antara politik dan dakwah tidak terpisahkan. Banyak yang menganggap bahwa politik dan dakwah terpisah. Bahkan dalam masyarakat kita, ada kesan kurang positif terhadap kegiatan politik, seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi, pengkhianatan, penipuan dan hal-hal buruk lainnya.
Allah telah mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw agar menyeru umat manusia ke jalanNya. Firman Allah, ”Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (Yusuf 108)
Dalam menyeru ke jalan Allah itu, Nabi beserta pengikutnya bersandar pada keterangan-keterangan yang jelas (basyirah), mengajak kepada Allah dan menolak kemusyrikan. Makanya dakwah seruan, ajakan dan panggilan ke Yang Maha Hebat, Maha Segalanya.
Allah juga menegaskan bahwa tidak ada perkataan lain yang lebih baik daripada menyeru kepada Allah, melakukan amal saleh dan berserah diri pada Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berseru, ”Dan siapa yang lebih perkataannya daripada orang yang mengajak pada Allah, beramal shalih dan menyatakan sesungguhnya aku adalah seorang Muslim.” (Fushilat 33). Penegasan aku seorang Muslim ini penting, karena kaum Musyrikin juga mengembangkan ‘dakwah’ atau misi.
Baca juga: Amien Rais dan Indonesia (3)
Selain itu Al-Qur’an juga menyuruh kepada kaum Muslim untuk menyeru ke jalan Allah dengan bijaksana, nasihat yang baik dan argumentasi yang jitu. Firman Allah, ”Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (bijaksana), nasihat yang baik dan berbantahlah terhadap mereka (non Muslim) dengan cara terbaik (ihsan). Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (an Nahl 125).
Ayat ini menunjukkan bahwa dakwah atau mengajak pada jalan Allah tidak boleh dengan kekerasan, senjata atau paksaan. Di ayat ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dakwah harus dilakukan oleh tiap Muslim, sesuai dengan kemampuannya. Yang mampu mengajarkan Iqra’, ajarkan Iqra’. Yang mampu ajarkan ekonomi Islam, ajarkan ekonomi Islam. Yang mampu ajarkan politik Islam, ajarkan politik Islam dan seterusnya.
Maka hakikatnya dalam Islam, setiap Muslim adalah guru. Kita wajib mengajak ke arah kebaikan (ila Llah) sesuai dengan bidangnya. Seorang sopir tentu beda cara dakwahnya dengan guru besar. Seorang tukang sapu masjid beda cara dakwahnya dengan Kiai dan seterusnya.
Dakwah Islam tujuannya adalah untuk mengajak pada jalan Allah atau jalan ke surga. Bukan mengajak ke neraka, seperti yang dilakukan kaum Musyrikin (orang yang menyekutukan Allah). Al-Qur’an menyatakan, “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (al Baqarah 221)
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa tugas manusia di muka bumi adalah untuk memakmurkan bumi. Bukan untuk saling membunuh, merusak bumi atau berperang (fisik). Untuk memakmurkan bumi maka manusia satu dengan yang lain mesti bekerjasama dalam hal kebaikan dan bekerjasama menjauhi kerusakan. Dalam surat al Baqarah ayat 30, Allah berfirman, ”(Ingatlah) ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Aku ingin menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka bertanya, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? Padahal, kami bertasbih memuji dan menyucikan nama-Mu.’ Dia berkata, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui,’” (Surat Al-Baqarah ayat 30).
Dakwah yang berisi amar makruf nahi mungkar dalam kenyataannya seringkali mendapat tantangan oleh kaum munafik atau ‘kaum kafir’ yang menyeru sebaliknya, yaitu, amar mungkar nahi makruf. Al-Qur’an menyatakan, ”Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (at Taubah 67)
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at Taubah 71)