Ancaman Disintegrasi di Balik Tragedi Wamena
Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas intannya terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Bait pertama lagu Ibu Pertiwi karya Ismail Marzuki tersebut, seolah mewakili kondisi Indonesia hari ini. Asap karhutla buah keserakahan para kapitalis, masih menyesakan dada. Revisi maupun rancangan undang-undang yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, masih membuat rakyat resah. Hingga memicu gelombang aksi mahasiswa dan aksi heroik anak STM yang sukses mengguncang Ibu Pertiwi. Kini, seolah duka enggan pergi. Kabar duka yang datang dari Wamena membuat Ibu Pertiwi kembali merintih.
Sebagaimana diberitakan detik.com, 29/9/2019, kerusuhan terjadi di Wamena, Senin (23/9/2019) pukul 09.00 WIT. Sejumlah bangunan seperti rumah dinas, ruko, dan kantor bupati dibakar massa. Viral beredar video kondisi Wamena yang porak poranda, dimana rumah dan gedung rata dengan tanah. Bara Wamena ternyata tidak hanya membakar rumah dan bangunan. Tapi juga raga manusia yang tidak bersalah.
Kondisi mengerikan menimpa para perantau Bugis dan Minang di Wamena. Mereka menjadi korban aksi brutal dan keji para pendemo, yang diduga ditunggangi kelompok separatis, yang merupakan warga di pinggiran kota Wamena, tepatnya di Pike (Daerah jalan Trans Papua). Dari kesaksian sekitar 600 warga korban demo brutal tersebut. Mereka mengaku sempat disandera oleh massa aksi. Bahkan sejumlah warga dibakar hidup-hidup.
Dikatakan, ratusan warga yang disandera itu, puluhan adalah bayi dan anak-anak, termasuk juga ibu hamil. Selain bertindak brutal, pendemo juga membakar satu keluarga yang dimasukan ke dalam Honai. Ada juga korban yang dipaksa masuk mobil lalu dibakar. Sadisnya, ada seorang balita yang juga menjadi korban, dimana kepalanya terpenggal. (sindonews.com, 26/9/2019).
Biadab, brutal, sadis, dan mengerikan. Sederet kata yang mungkin belum cukup mewakili kondisi Wamena yang membara. Tidak hanya rasa geram di dada yang dirasakan oleh mayoritas publik. Tapi juga kesedihan yang mendalam, khususnya bagi warga Bugis dan Minang. Sebab tercatat 33 korban tewas merupakan warga perantauan dari Bugis dan Minang.
Tragedi Wamena semestinya dapat membuka kesadaran kita. Papua dimana penduduknya mayoritas non Islam dan memilih petahana terus saja bergejolak. Bahkan setelah petahana dinyatakan menang oleh KPU, bukan semakin membaik, malah semakin memburuk. Papua semakin membara dengan tragedi brutal pembakaran dan pembantaian. Dimana puluhan nyawa tak bersalah menjadi korban. Ribuan orang mengungsi dan ratusan bangunan rata dengan tanah. Wamena menjadi kota yang mencekam dan mengerikan.
Bukti bahwa janji-janji penguasa untuk segera hadir dalam berbagai masalah yang menimpa Papua, hanyalah pepesan kosong belaka. Rakyat Papua kembali menjadi korban janji manis penguasa di kala kampanye. Ironis. Sebab fakta berbicara, penguasa bungkam justru demi mengamankan berbagai kepentingan para Kapitalis di bumi Papua. Sementara ribuan rakyat kini menjadi korban kerakusan dan keserakahan penguasa dan tuan-tuan Kapitalis.
Semestinya tragedi Wamena membuat kita waspada terhadap upaya disintegrasi Papua. Tragedi Wamena bukanlah peristiwa yang ujug-ujug. Tapi merupakan tragedi mengerikan hasil dari rentetan peristiwa yang dipicu dari ketidakadilan. Serta adanya upaya pemisahan Papua dari pangkuan Ibu Pertiwi yang digelorakan oleh Organisasi Papua Merdeka. Tak ayal berbagai kepentingan asing yang bermain di Papua, juga penting dan wajib kita waspadai. Termasuk upaya mempercepat skenario pemisahan Papua dari pangkuan Ibu Pertiwi ini.