Anies, dari Ibu Kota ke Ibu Pertiwi
Pada 16 Oktober 2022 mendatang Anies purna tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Di Balai Kota akan digelar acara pamitan tentu dengan sambutan “keynote speaker” terakhirnya yang akan banyak dinantikan dan disaksikan “Pidato Pamitan”.
Acara ini akan banyak dihadiri pelbagai kalangan, sudah pasti ratusan ribu dari lebih 100 titik komunitas sukarelawan politik pendukung Anies se-Jabodetabek.
Kenapa pamitan Anies ini begitu disambut dengan euforia suka cita?
Tidak seperti saat Anies menghadapi sidang paripurna bersama DPRD DKI menyatakan pemberhentiannya yang sunyi senyap?
Bukankah suatu perpisahan itu pula pasti akan dirundungi kesedihan dan keharuan seolah mengelamkan langit Jakarta tak sebenderang?
Tiada dramaturgi semacam itu.
Tetapi seperti dilontarkan Anies dengan narasi asa besar bersayap: “Saya tidak akan meninggalkan Jakarta. Saya akan tetap di Jakarta”.
Apakah ini menandakan sinyal bahwa Anies hanya akan pindah bergeser sedikit saja dari Jl. Merdeka Selatan ke Jl. Merdeka Utara? Dari Balai Kota ke Istana Negara?
Sepertinya sudah selayaknyalah Anies itu pindah ke Istana Negara, dikarenakan “Kawah Candradimuka” mengurus Jakarta sebagai Ibukota Negara miniatur Indonesia telah berhasil sukses Anies lewati dan tunaikan:
Beliau raih 20-30 penghargaan domestik maupun internasional di bidang pembangunan kota berkemajuan yang intinya sudah mulai menyentuh “prosperity city learned developed” yang semakin tengah dikejar oleh negara-negara nyaris di seluruh belahan dunia: City Go Green, City Go Smart dan City Go Suistanable: semua ciri-ciri dari cara pengelolaan pembangunan kota dan atau negara modernisme baru di masa depan?
Termasuk, yang luar biasa satu-satunya provinsi di Indonesia yang mendapatkan penghargaan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama lima tahun berturut-turut di bidang pengelolaan keuangan negara, APBD, untuk pembangunan kota;