Anies Menyoal Kemandirian Kedaulatan NKRI
Haidar Alwi dalam suatu podcast Kanal Anak Bangsa yang dipandu oleh Rudi S Kamri di medio Januari lalu mengutarakan bahwa Anies disebut sebagai agen atau boneka Amerika yang “dipersiapkan” dan bakal ditugasi untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia.
Disebut karena pro Eropa juga, Anies bakal menjadi bagian agen Zionis pula. Dan seolah sudah pasti dikarenakan keterkaitan dengan poros Amerika dan Eropa, ujung muaranya Anies itu juga menjadi bagian agen illuminati yang berpusat di bangsa Yahudi Israel itu.
Di sisi lain ujarannya, Anies juga disebut pula sebagai pro-kilafah, khususnya pada dua bagian kelompok Islam ‘garis keras’ dan ‘fundamentalis’, yang dikenal ‘intoleran’, radikal dan selalu menebar ‘terorisme’di pelbagai belahan dunia, yaitu Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin.
Jika kemudian sebutan politis ketiga poros itu disandingkan dan disematkan kepada Anies —baik dalam konteks sejarah dan kekinian bahkan ke depannya di dunia, sebagai tiga kekuatan politik dunia, adalah “sesuatu yang mustahil”, alias opini ngawur. Dikarenakan mereka justru saling bertentangan, saling bermusuhan dan selalu seringkali saling berseteru. Mana mungkin “tiga peseteru” dunia itu, antara zionis, illuminati dan khilafah, sekaligus disandingkan kepada Anies?
Dalam profilerasi yang lebih sederhana dan didomestikasi terkait hal itu —menurut mereka Anies itu sebagai “Bapak Politik Identitas” di Indonesia. Dikarenakan dukungan luar biasa kelompok Khilafah yang kemudian memenangkan Anies di Pilkada 2017 lalu.
Tetapi, kenapa ketika Anies saat dan usai menjabat Gubernur DKI Jakarta dan berhasil mewujudkan persatuan dan kesatuan warganya dengan mempertebal semangat toleransi dan menjauhkan radikalisme alias Anies anti SARA, salah satu faktor pengungkit efek rasialisme agama, khususnya terhadap agama dan umat Nasrani, ujug-ujug disematkan sebutan “Yohanes” Anies Baswedan. Lantas, kemana larinya sebutan yang sangat militansi sebelumnya, sebagai “Kadal Gurun“ dan “Janggut Asu”?
Opini ke-ngawur-an yang hanya dilandasi emosional, adalah cerminan menyiratkan ujaran kebencian sungguh jauh dari nilai etika edukasi dan keadaban.
Tetapi, itulah sikap seorang Anies dibiarkannya tuduhan dan fitnahan itu tak terbalaskan—berbeda dengan lawannya, dikarenakan pro rezim penguasa tengah berkuasa tanpa ampun sedikit-sedikit dibalasnya dengan jerat hukum sebagai alat senjatanya.
Betapa ketertidakgoyahan seorang Anies terhadap ketahanan kesabarannya sungguh sangat luar biasa.
Tetapi, bagi penulis —sebagai bagian dari konsensus pemikiran positif sebagaimana buruknya opini itu selalu dijadikan ruang bagi dialektika dan diskursus—ada baiknya itu dijadikan cara evaluasi dan introspeksi diri dalam konteks pemikiran beliau tentang entitas masalah bangsa paling krusial, urgensial dan fundamental yang menyangkut hakiki “kedaulatan negara” yang merupakan bagian dari “kedaulatan rakyat” sebagai an sich hukum tertinggi di negara ini.
Dan harus diakui selama nyaris satu dekade kepemimpinan rezim penguasa Jokowi, dirasakan kecenderungan terhadap praksis politik demokratis berlandaskan kekuasaan kedaulatan rakyat ini terabaikan dan bahkan menghilang.