Anies ‘Political Obstacle’ versus Gurita Oligarki ‘Political Pillion’
Bahkan, juga sudah mulai menguasai faktor-faktor produksi, termasuk di sektor ketenagakerjaan. Orang-orang China sudah sangat masif menguasai lapangan kerja yang seharusnya diisi oleh tenaga kerja lokal.
Penyimpangan cara investai RRC macam ini —bagian dari penerapan Omnibuslaw, tengah menimbulkan chaos seperti di Morowali dan pasti akan menimbulkan efek domino yang sama di daerah-daerah lain di Indonesia.
Dan hebatnya, sebagai “pembonceng”, mereka juga menabur korupsi, yang mereka tabur korupsinya juga bukan duit yang dimilikinya, tapi juga dari uang negara.
Dengan caranya menabur korupsi melalui konspirasi dan kolusi, hanya di era kekuasaan Jokowilah, seluruh lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk MK, MA, bahkan DPR, tersentral dan tunduk dengan komando Istana. Apalagi di Kabinet menjadi sarang kekuasaan “Pemguasa-Pengusaha”.
Bahkan, Polri dan TNI, menjadi “herder” dan buldog” istana bagi kaum oposan dan demonstrans yang menentang istana. Jadilah, negara ini otoritarian, Jokowi memimpin pemerintahan otoriter.
Namun, untungnya masih ada satu “lucky blow” yang masih dipunyai negeri ini sepeninggal adnya kalibrasi demokrasi di era reformasi lalu: masih adanya pembatasan masa jabatan dua periode di dalam UUD 1945.
Dan Jokowi harus berakhir, harus taat konstusional, jika tidak mau disebut penentang atau pengkudeta konstitusi: pilihannya meninggalkan legacy secara terhormat , atau terpenjara terkarenakan pelanggaran hukum kudeta konstitusi dipidana berat.
Tetapi, tampaknya anasir kekuatan-kekuatan yang menginginkan Jokowi tiga periode itu masih terus ada dan cenderung menguat. Atau, jika tidak pun metamorphosis genggaman kekuasaanya dalam bentuknya yang lain: berupa kekuatan hereditasnya, duplikasi dan atau koloninya. Yang kedua-duanya, masih akan mempertahankan “tali kekang” kekuatan gurita oligarki yang bagi mereka, adalah sumber-sumber pundi-pundi kekayaan haram berasal dari korupsi ilegal. Tetapi, bagi negara dan bangsa ini perilaku gurita oligarki itu sudah semakin nyata telah mengoyak-ngoyak kedaulatannya.
Oleh karena itu, adanya kesempatan kalibrasi demokrasi di Pemilu dan di Pilpres 2024 nanti, Anies Baswedan sebagai calon Presiden, harus diyakini dan disadari oleh seluruh segenap rakyat ini, untuk bersama rakyat harus menjadi kekuatan penjegal (obstacle) atas keberlangsungan gurita oligarki— yang disebut sebagai strategi merambah perlawanan rakyat terhadap kekuasaan berupa: “political obstacle”.
Tetapi, politik penjegalan yang akan dilakukan oleh Anies bersama rakyat, adalah konstitusional. Tanpa kudeta, anarkisme dan chaos.
Penjegalan konstitusional itu termaktub dan terselenggara dalam ajang kalibrasi demokrasi di Pilpres 2024 yang seharusnya dijamin pemerintahan negara kejujurannya dan keadilannya, tanpa kejahatan penipuan dan kecurangan.