SUARA PEMBACA

Atas Nama Infrastruktur Rakyat Jadi Tumbal

Berita memprihatinkan kembali menimpa rakyat Indonesia. Sebanyak 50 kepala keluarga di Kendal, Jawa Tengah berusaha menuntut hak untuk mendapat ganti rugi dari lahan mereka yang dipakai untuk pembangunan tol Semarang-Batang yang sudah berlangsung sejak Desember 2018.

Namun usaha mereka tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Jasa Marga pun tak mampu berbuat sesuatu untuk memenuhi hak rakyat karena tidak adanya dana. Bagaimana tidak, Jasa Marga saja masih nombok 1.5 T untuk pembangunan tersebut.

Kini tak ada lagi tumpuan rakyat untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka. Kalau pun ada yaitu dengan Surat Pembayaran Pembangunan (SPP), itu juga tak bisa dilakukan karena tidak memenuhi syarat yang berlaku. Kini rakyat terpaksa meminjam uang di bank untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok. Padahal kita tahu meminjam di bank pasti ada bunga dan itu haram dilakukan.

Bagaimana fakta ini bisa terjadi? Ini adalah hal fundamental yang harus kita kritisi. Terlebih kondisi tersebut terjadi ketika mendekati pesta demokrasi.

Dalam demokrasi ini tak dapat dipungkiri bahwa calon pemimpin mengeluarkan banyak dana selama masa kampanye. Mengunjungi rakyat di berbagai daerah, kampanye di TV lewat banyak iklan prime time, mengadakan acara diskusi publik, sebar pamflet, baliho, mengerahkan masa pendukung, dll demi meraih kepentingan dirinya yaitu meraih kekuasaan. Super besar dana yang diperlukan untuk menuju jalan kepresidenan. Tentu dana itu itu tak mungkin sanggup dipikul sendiri olehnya dan partainya. Dari sini, pihak sponsor mampu meringankan dana calon pemimpin. Namun, calon pemimpin harus mengembalikan modal yang sudah diberikan para sponsor, kapitalis raksasa asing maupun lokal pendukung dana kampanye mereka, mengingat di sistem kapitalisme ini ada prinsip mendasar “no free lunch”.

Bantuan dari pihak sponsor tidak cuma-cuma, ada perjanjian-perjanjian di balik itu semua sekaligus menjadikan kesempatan tersebut sebagai wadah investasi yang membuat kekayaan mereka berlipat ganda. Salah satunya pembangunan tol Semarang-Batang ini. Untuk melalui tol rakyat dikenai tarif mahal. Lahan rakyat yang itu bisa jadi sebagai satu-satunya mata pencaharian mereka pum diambil. Demi berlangsungnya perjanjian antara calon pemimpin dengan sponsor. Sehingga siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam hal ini? Jelas bukan rakyat.

Tol merupakan infrastruktur fisik yang dibutuhkan untuk membantu aktifitas perekonomian rakyat, bukan semakin menyusahkan. Inilah sistem yang tidak memberlakukan paradigma seorang pemimpin yang seharusnya mengurusi urusan rakyat sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada Allah.

Bukankan mayoritas pemimpin dan calon pemimpin kita muslim? Yang meyakini adanya hari penghisaban di akhirat untuk mempertanggung jawabakan setiap yang dilakukan di dunia. Kapitalisme telah membutakan mereka sampai menjadikan rakyat sebagai tumbal demi berlangsungnya kepentingan pribadi dan golongan. Demi hasrat berkuasa dan meraup keuntungan. Kedzaliman kian nampak jelas di depan mata dalam sistem ini. Siapa pun tidak akan rela dirinya dijatuhi kezaliman nyata.

Lantas bagaimana agar kezaliman ini segera berakhir?. Satu-satunya jalan yaitu menerapkan politik Islam berbasis akidah dengan menerapkan seluruh aturan Islam oleh negara. Pembangunan infrastruktur dilakukan oleh negara tidak atas kontrol pihak luar apa lagi pihak sponsor yang berasal dari negeri yang secara terang-terangan menentang Islam seperti China. Haram bagi muslim menjalin kerjasama dengan mereka. Politik Islam dan syariat Islam kaffah sayangnya malah dianggap kriminal dalam demokrasi berbasis nafsu manusia. Hanya Khilafah Islamiyah, politik bernegara teladan Rasulullah dan Khulafa Ar-Rasyidin yang dapat mewujudkannya.

Dalam sistem ini negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyatnya termasuk pebangunan infrastruktur fisik. Dana yang dikeluarkan pun bukan dari pinjaman atau hutang seperti kebiasaan di zaman ini tapi diambil dari hasil pengolahan sumber kekayaan rakyat yaitu tambang, padang dan hutan yang dikelola negara. Rakyat pun untuk mendapatkan haknya tidak diberatkan oleh negara seperti administrasi dan lain sebagainya karena itu bentuk tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Tidak akan ramai terjadi peristiwa ditumbalkannya rakyat seperti di zaman kapitalis sekuler sekarang ini. Dahulu juga ada pembebasan lahan yang dilakukan khalifah Umar bin Khattab, namun tanggung jawab sebagai seorang pemimpin tetap dijalankan.

Maka dari itu sangat perlu bagi kita untuk menengok bagaimana sistem Islam ditegakkan di bawah naungan khilafah. Sehingga rakyat tidak secara terus menerus dijatuhi kezaliman. Karena itulah kewajiban kita sebagai hamba Allah. Itu pula yang akan menyelamatkan kita, dunia dan akhirat.

Elima Winanta
(Alumnus Matematika UNAIR)

Artikel Terkait

Back to top button