OPINI

Aturan Main Baru BPJS Kesehatan, Kebijakan Manipulatif Demi Mendulang Cuan?

Kabar tak sedap kembali terdengar dari BPJS Kesehatan. Pemerintah dikabarkan akan menerapkan kelas standar rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan pada 2022 mendatang. Dengan demikian, BPJS Kesehatan akan melakukan proses penghapusan kelas 1, 2, dan 3 secara bertahap.

Rencananya akan ada dua jenis kelas standar yang disediakan oleh BPJS Kesehatan, yakni kelas standar A dan kelas standar B. Pembagian kedua ini dibedakan didasarkan pada status kepesertaan, yakni peserta PBI dan non-PBI. Selain itu, salah satu perbedaan kelas standar A dan kelas standar B, yakni kapasitas kelas standar A yang akan ditempati oleh enam pasien, sedangkan kelas standar B hanya dapat menampung empat pasien per ruangan. (Kompas.com, 14/12/2021).

Inilah aturan main baru BPJS Kesehatan yang disebut sebagai amanat dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional sejak 19 Oktober 2004. Sayangnya, alih-alih menggembirakan, aturan main baru ini justru menambah beban pikiran rakyat. Menambah daftar panjang berita buruk di penghujung tahun 2021. Setelah tercekik kenaikan tarif listrik, kini rakyat terancam terbelit aturan manipulatif.

Sekilas aturan ini tampak sebagai upaya peningkatan kualitas layanan BPJS Kesehatan. Sayangnya tidaklah demikian. Ekonom Indef Tauhid menyebut dua kelas standar ini memang mempunyai nilai lebih dari sisi kesederhanaan. Sebab jenjang tarif dan pelayanan yang sama bagi masyarakat, khususnya bagi non-JKN.

Kendati demikian, menurut Tauhid, rencana ini juga memiliki kekurangan yang jelas memberatkan rakyat, khususnya bagi masyarakat kelas bawah. Sebab, penerapan dua kelas standar ini santer disebut akan membuat iuran peserta non-JKN dipukul rata menjadi satu tarif di kisaran Rp50 ribu sampai Rp75 ribu per peserta. Alhasil, aturan ini memberatkan peserta mandiri 3 yang tarif iurannya sebesar Rp42 ribu per peserta. Sebab dapat diprediksi akan mengalami kenaikan. (CNNIndonesia.com, 28/9/2021).

Berulang kali menaikan tarif sebab dalih defisit, kini mengubah aturan main kelas rawat inap. Tampaknya tidak pernah ada kabar baik dari BPJS Kesehatan. Berdalih untuk meningkatkan kualitas pelayanan, nyatanya tetap saja memalak rakyat. Alih-alih untuk kepentingan rakyat, aturan main baru ini nyatanya adalah kebijakan sejenis dengan cara manipulatif demi mencapai margin keuntungan dari layanan kesehatan rakyat. Lagi-lagi, penguasa tak mau rugi. Demi pundi-pundi cuan, rakyat kembali terbelit kebijakan manipulatif.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pepatah yang tepat menggambar kondisi rakyat hari ini. Sudah dicengkeram pandemi, kini dihadang dengan berbagai kebijakan yang mencekik. Belum usai kepanikan rakyat menghadapi mahalnya harga minyak goreng, bayang-bayang kenaikan tarif listrik, dan kenaikan harga sembako yang menjadi lagu lama akhir tahun. Kini, beban pikiran rakyat bertambah berat dengan penerapan kelas standar BPJS Kesehatan.

Semestinya, penguasa menjadi pelayan rakyat yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Faktanya tidaklah demikian. Aturan main baru BPJS Kesehatan adalah bukti baru kegagalan penguasa dalam mengurus rakyat. Alih-alih menjadi pelayan bagi rakyat, penguasa justru mengail keuntungan di balik layanan kesehatan rakyatnya.

Inilah buah dari negara yang diatur dengan paradigma kapitalisme. Negara dibangun berasaskan materi yang berorientasi untung-rugi. Tidak heran, jika pelayanan kesehatan sebagai aspek vital bagi rakyat, pengelolaannya justru sarat kepentingan kapitalis. Alhasil, negara pun seolah menjadi perusahaan besar yang mengeruk keuntungan dari rakyatnya. Mati-matian memutar otak untuk mencari cara kreatif, semata-mata demi memalak uang rakyat. Sungguh ironis!

Di sisi lain, Jaminan Kesehatan Nasional sejatinya merupakan jebakan kapitalis global yang menyesatkan negeri ini ke dalam lingkaran setan. Sebagaimana tertuang dalam General Agreement on Trade and Services (GATS), paradigma kapitalisme menempatkan kesehatan sebagai jasa yang harus dikomersialkan. Paradigma ini pun didukung oleh logika neoliberalisme, yakni good governance, yang mana negara justru berperan sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button