OPINI

Banjir Sentani, Akibat Obral Perizinan Korporasi?

Memang disinyalir, telah terjadi revisi dan pengurangan ratusan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi berubah menjadi kawasan hutan produksi. Juga, deforestasi yang menyebabkan botaknya areal hutan. Kasus Pegunungan Cycloop salah satunya. Sejak 2001 sampai 2014, Global Forest Watch mencatat, Indonesia telah kehilangan 18,91 juta hektar hutan. Dan pada tahun 2014-2015, telah terjadi deforestasi sebesar 901.300 hektar. Angka itu meningkat 3 kali lipat dari periode sebelumnya. Kalimantan adalah penyumbang terbesar atas kehilangan hutan nasional, karena perluasan areal perkebunan kelapa sawit (tirto.id, 13/7/2017).

Akibatnya, Ekosistem rusak oleh ulah kaum kapitalis yang membawa semua peralatannya untuk menghancurkan jutaan hektar hutan (deforestasi) setiap tahunnya. Bahkan, sampai menggerus hutan lindung atau hutan konservasi seperti kasus Pegunungan Meratus yang dikuasai perusahaan tambang. Dan itu legal, berizin (banjarmasinpost.co.id, 28/10/2018). Kondisi ini memperlihatkan adanya “hubungan mesra” antara korporasi dengan elit negara. Sebagaimana yang disampaikan komunitas peduli lingkungan. Bahkan, bisa jadi aparat negara pun telah menjadi pelaku dan pendukung perambahan hutan dan menjadikannya sebagai lahan perkebunan atau tambang.

Semua ini menampakkan keserakahan manusia yang akhirnya mendorong mereka memanfaatkan alam secara liar, tanpa peduli aturan. Hanya memikirkan keuntungan materi semata. Akibatnya ekosistem terganggu, bencana atau kerugian pun datang. Seperti banjir dan musibah lainnya, yang tidak hanya merugikan harta tapi juga jiwa manusia sendiri. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali.” (TQS. AR-Ruum: 41).

Maka sudah cukup banjir bandang Sentani menjadikan kita untuk berbenah dan kembali kepada aturan yang berasal dari Tuhan Pencipta manusia dan alam semesta. Dalam Islam, hutan termasuk dalam kepemilikan umum bukan kepemilikan individu. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi Salallahu a’aihi wa salam, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput (gembalaan), dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).

Hadist ini menunjukkan bahwa tiga hal tersebut adalah milik umum karena menjadi hajat hidup orang banyak. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja bukan oleh pihak lain (swasta atau asing). Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam baitul mal (kas negara) dan distribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum syariat.

Selain itu, Negara juga akan dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum. Berbeda halnya dengan saat ini, dimana banyak tanah terlantar yang dimiliki oleh orang-orang kaya hanya untuk disimpan. Ironisnya banyak orang yang berprofesi sebagai petani tapi tidak yang mempunyai tanah untuk diolah. Bahkan banyak yang tak punya lahan dan rumah untuk tinggal. Inilah Ironi dalam sistem kapitalis.

Pembalakan liar (illegal logging), deforestasi dan perubahan fungsi hutan tidak akan terjadi lagi kalau pengelolaan diatur sesuai syariat Islam. Maka sudah saatnya kita mencampakkan sistem kapitalis yang menjadi akar masalah carut marutnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan milik umat. Mari kita kembali kepada pengaturan syariat Islam yang diterapkan secara kaffah. Dengan pengelolaan Islam, kekayaaan hayati seperti hutan akan menjadi berkah bukan justru mendatangkan musibah. Wallahu A’lam bi Showab.

Ifa Mufida
(Pemerhati Masalah Sosial)

Laman sebelumnya 1 2
Back to top button