OPINI

Banjir Sentani, Akibat Obral Perizinan Korporasi?

Musibah kembali melanda wilayah Indonesia. Kali ini banjir bandang menerjang Kota Sentani, Kabupaten jayapura, Papua. Bencana ini pun menelan cukup banyak korban. Tercatat 104 orang meninggal dunia, di mana 97 korban berasal dari Kabupaten Jayapura dan 7 korban lainnya di Kota Jayapura, serta 79 orang belum ditemukan hingga Rabu (20/3/2019) pagi (tirto.id). Belum lagi kerusakan material yang harus dialami oleh masyarakat, sungguh Indonesia kembali berduka.

Penyebab terjadinya banjir bandang ini ternyata menuai tanda tanya dari beberapa fihak, pasalnya banjir itu tidak hanya membawa air tapi juga potongan-potongan kayu dari pegunungan. Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua, Aiesh Rumbekwan, Ia menduga, puing-puing kayu-kayu tersebut adalah dari hasil penebangan liar. “Karena, nampak dari beberapa jenis pohon yang hanyut ke kota itu pohon yang sebenarnya bukan karena longsor. Mungkin ada, sejauh ini ada juga yang seperti sudah ditebang,” ujarnya.

Dikuatkan oleh Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. Beliau memaparkan, penyebab banjir bandang di Sentani, Papua, akibat Gunung Cycloop gundul. Lantaran, banyak penebangan pohon secara ilegal. “Jadi para warga ini menebang pohon untuk kayu bakar dan pembukaan perkebunan liar, pembuatan perumahan,” kata Sutopo (okezone.com, 18/3).

Saat ini, di wilayah perbukitan yang ada di Sentani telah menjadi destinasi wisata yang berpadu dengan pemukiman penduduk. Padahal seharusnya, daerah pegunungan menjadi hutan daerah resapan air dan penahan longsor. Tapi, justru sekarang disulap menjadi ladang dan kebun. Kerusakan hutan ini memang sudah berlangsung lama. Banjir bandang pun pernah menimpa Sentani 12 tahun lalu (tahun 2007) Juga menimbulkan kerugian material dan puluhan korban jiwa. Kerusakan Pegunungan Cycloop sudah berlangsung sejak 2003. Perambahan cagar alam oleh 43.030 jiwa atau 753 keluarga juga berlangsung sejak itu. “Terdapat penggunaan lahan permukiman dan pertanian lahan kering campur pada DTA (DAS Sentani) banjir 2.415 hektare,” kata Sutopo (BNPB).

Saat ini, di era liberalisasi dan kapitalisasi menyebabkan masyarakat dan korporasi kurang begitu peduli terhadap lingkungan. Menurut Walhi, laju kerusakan hutan di Indonesia terbilang besar. Pertambangan dan perkebunan memberikan kontribusi terbesar. Semua itu karena adanya “kemudahan” dalam pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kepentingan bisnis pertambangan dan perkebunan.

Mungkin benar yang dikatakan Koordinator Desk Politik Walhi, Khalisah Khalid, bahwa izin pengelolaan hutan di Indonesia kerap “diobral” untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI). Izin ini pun menjadi persoalan serius karena terkait politik oligarki di setiap pemilu. Karena, biaya politik yang mahal, salah satu modus yang dilakukan korporasi adalah memberikan dana politik agar mendapatkan izin pengelolaan hutan (kontan.co.id, 15/2). Pernyataan senada dari Kepala Greenpeace Indonesia, Leo Simanjuntak. Menurut beliau pengalihan fungsi tata ruang oleh izin-izin yang “diobral” memang menjadi permasalahan besar pemerintahan hingga sekarang.

Paul Finsen Mayor, Ketua Dewan Adat Papua, menyesalkan, “Kalau di zaman Belanda, untuk menjadikan Jayapura sebagai ibu kota Netherland New Guinea, mereka melakukan penelitian dulu sebelum membangun perumahan dan sarana prasarana umum. Di Indonesia saat ini, pembangunannya sembrono,”. Memang, harus kita akui bahwa kondisi di Indonesia, perubahan alih fungsi hutan dan tata ruang, di mana pun, menjadi persoalan yang tidak terbantahkan. Dan, itu merata di seluruh Indonesia. Pemerintah harus mengakui dan instropeksi atas hal ini. Jika tidak, ancaman bencana serupa akan terjadi di wilayah lain, dan ini akan menjadi bukti bahwa pemerintah telah abai terhadap tata kelola alam termasuk hutan.

Ada banyak pelajaran dari peristiwa ini. Alam menunjukkan agar manusia mampu bersikap bijak untuk kemudian bisa merumuskan tindakan pencegahan agar ketika terjadi bencana bisa meminimalisasi korban jiwa, baik manusia maupun material. Namun ternyata hal itu tidak terjadi, hingga kemudian bencana yang sama berulang di tahun 2019. Selain itu, bisa jadi dalam setiap bencana ada hubungannya dengan adanya pelanggaran hak-hak Allah sebagai Pencipta alam semesta.

Kita ketahui Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari cengkraman kapitalisme. Sistem Kapitalisme memandang bahwa alam sebagai sumberdaya yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendatangkan keuntungan materi. Paham kebebasan kepemilikan telah membuat penguasa mempersilakan swasta lokal maupun asing untuk mengeksploitasi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Tentu, dengan berharap royalti atau pajak dari situ. Makanya, hutan-hutan di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Papua, telah banyak yang dikuasai kapital dan industri.

1 2Laman berikutnya
Back to top button