Barisan Hizbullah: Peran Jihad dalam Perjuangan Kemerdekaan
Secara umum sambutan masyarakat terhadap barisan Hizbullah cukup positif. Karesidenan Surakarta, misalnya, mengirimkan 25 pemuda yang sebelumnya merupakan hasil seleksi secara ketat untuk mengikuti pelatihan tersebut. Setelah usai dan kembali ke Surakarta, mereka disambut dengan meriah oleh umat Islam di Surakarta bertempat di Masjid Agung. Pada 8 Juni 1945 diadakan penyambutan lagi di Gedung Habiprogo Surakarta (sekarang Matahari Singosaren).
Sambutan yang sangat meriah terhadap Hizbullah di Surakarta ini tidak mengherankan, sebab dari 25 pemuda yang dikirim ke Cibarusa, 15 orang diantaranya berasal dari Madrasah Mambaul Ulum Surakarta. Sisanya, 5 orang dari Mualimin Muhammadiyah Surakarta, 3 orang dari Perguruan Al-Islam, dan masing-masing satu orang dari MULO-Mualimin Yogyakarta dan HIS Surakarta. Madrasah Mambaul Ulum Surakarta pada masa itu merupakan lembaga pendidikan keagamaan berbasis pesantren yang cukup terpandang. Institusi pendidikan ini resmi milik Kraton Surakarta yang didirikan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X (memerintah 1893 – 1939) dan bertempat di Masjid Agung Surakarta. Pendirian madrasah ini, diantaranya dilatarbelakangi oleh ketidaksukaan sang raja terhadap menjamurnya sekolah zending dan praktik kristenisasi yang dilakukan oleh Belanda di wilayah kerajaannya. Sebagai seorang panatagama, sang raja merasa berkewajiban untuk mendirikan sebuah institusi yang menaungi kepentingan pendidikan umat Islam. Santrinya diseleksi secara ketat dan lulusannya sebagian ditempatkan untuk mengisi jabatan di lingkungan kapengulon (bidang urusan keagamaan dalam pemerintahan di istana). Para lulusan itu akan mendapatkan syahadah (ijazah) yang ditandatangani langsung oleh sang raja.
Menurut catatan Kyai Ali Darokah, seorang ulama karismatik pengasuh Pesantren Jamsaren Surakarta[8], antara tahun 1943 hingga tahun 1945 memang tidak banyak berlangsung kegiatan belajar mengajar di lingkungan Madrasah Mambaul. Para santri Mambaul Ulum banyak yang diterjunkan ke medan juang bergerilya melawan penjajah Eropa. Para ulama dan santrinya juga terlibat aktif dalam penataan barisan Sabilillah dan Hizbullah. Perjuangan mereka bahkan berlangsung hingga tahun 1950 saat mengusir Belanda dari Surakarta. Kyai Ali Darokah sendiri sekitar tahun 1945 diketahui ikut mengelola Madrasah Mambaul Ulum.
Sambutan yang menggembirakan terhadap pembentukan Hizbullah, juga datang dari para mantan pemimpin Laskar Partai Arab Indonesia (P.A.I.). Setelah Laskar P.A.I. dibubarkan, para pemuda peranakan Arab ini merasa gelisah, sebab tidak lagi memiliki wadah untuk bersama-sama umat Islam lainnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Harapan mereka untuk menyumbangkan tenaga dalam membela nusa dan bangsa bersemai kembali dengan kehadiran Laskar Hizbullah. Dalam salah satu tulisan, seorang mantan pemuka Laskar P.A.I. menulis sambutan terhadap pendirian Barisan Hizbullah sebagai berikut:
“Alhamdoeli’llah, kini telah terboeka djalan bagi kami dengan berdirinja Tentera ALLAH, dimana kami Peranakan Arab, diboekakan pintoe sebagai lain-lain kaoem moeslimin, berdjoeang dalam Barisan ALLAH itoe. Maka kami sebagai bekas Lasjkar P.A.I. dalam anggapan kaoem Peranakan Arab semoea sebagai Moeslim telah memandang, bahwa satoe-satoenja pintoe bagi kami sekalian telah terboeka oentoek mengoedji Iman sebagai Moeslim terhadap Agamanja dan oedjian benar dan tidaknja pengakoean Indonesia sebagai Tanah Air kami sendiri”.
PERAN HIZBULLAH
Pertempuran 10 November 1945
Perlu dipahami peristiwa 10 November 1945 di Surabaya atau dikenal dengan sebutan Soerabaia ’45 bukan merupakan peristiwa yang berdiri secara tunggal. Butuh perencanaan dalam jangka panjang untuk mengusir sekutu yang bercokol di Surabaya. Peristiwa 10 November tidak akan terjadi dengan sendirinya jika tidak didahului dengan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad itu sendiri merupakan hasil kesepakatan. Peristiwa ini didahului oleh perebutan kekuasaan dan senjata antara bangsa Indonesia dengan Sekutu pasca kekalahan tentara Jepang mulai dari 2 September 1945.
Melihat situasi yang berkembang semacam itu K.H. Hasyim Asy’ariy mengundang para ulama’ uyang tergabung dalam Nahdlatul Ulama dari seluruh Pulau Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945. Ketokohannya sebagai ketua Masyumi dan sekaligus menjadi sosok sentral Nahdlatul Ulama memungkinkan beliau untuk memperoleh dukungan kekuatan dari berbagai elemen umat Islam pada masa itu. Hasilnya, para tokoh yang berkumpul akan menggerakkan umat untuk siap sedia berjihad mempertahankan kemerdekaan. Kesepahaman itu kemudian melahirkan sebuah fatwa yang dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad. Pada bagian inilah akhirnya Barisan Sabilillah (Ulama’) dan Barisan Hizbullah memiliki peran besar untuk mengkoordinasikan kekuatan rakyat dalam perjuangan.
Resolusi Jihad
Inggis saat itu bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang. Mereka menjanjikan hanya akan melucuti senjata Jepang, menduduki obyek-obyek yang sesuai dengan tugasnya yaitu kamp tawanan, tidak akan mengikutkan Angkatan Perang Belanda dalam pasukannya. Janji-janji ini ternyata diingkari. Mereka bukan hanya bermaksud membebaskan Kolonel Huiyer, dari Angkatan Laut Belanda dan kawan-kawannya, bahkan pada 27 Oktober pukul 11. 00 pesawat Inggris menyebarkan pamflet berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata-senjata yang dirampas dari Jepang. Pada pukul 14.00 mulai terjadi kontak senjata yang pertama antara pemuda dengan pihak Inggris.
Salah satu episode heroik dalam peristiwa Surabaya ini adalah pidato Soetomo (lebih dikenal dengan sebutan: “Bung Tomo”) dicorong radio yang mampu membakar semangat juang rakyat dengan gelegak takbir. Siaran yang dipancarkan dari radio pemberontakan di Jl. Mawar No. 4 itu kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa antara lain Inggris, Cina, dan Arab dengan tujuan agar dunia mendengar tentang kekejaman Sekutu dan juga menunjukkan bahwa republik masih didukung oleh rakyat dan para pejuang. Khusus penerjemahan ke dalam Bahasa Arab dilakukan oleh K.H. Thohir Dasuki, ulama Surakarta tamatan dari Universitas Al-Azhar, Mesir, yang juga pernah menjadi perintis dan pelatih Barisan Hizbullah di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat.