SUARA PEMBACA

Benarkah Investasi Asing Menguntungkan?

“Tidak ada yang ke Indonesia, tolong ini digarisbawahi. Hati-hati, berarti kita punya persoalan yang harus kita selesaikan,” kata Jokowi kepada para menterinya beberapa waktu lalu.

Begitulah kepanikan yang tengah melanda pemerintahan Jokowi kali ini. Pasalnya, investasi asing yang diharapkan meningkat, justru jeblok 8 persen dari Rp. 430,5 triliun ke Rp. 392,7 triliun. (cnnindonesia.com, 13/09/2019).

Jokowi beserta jajarannya dibuat kalang kabut. Paket kebijakan ekonomi yang ada selama ini, dianggap tak berhasil menggenjot investasi asing. Dilansir dari Detik Finance, dalam materi presentasi Bank Dunia ke pemerintah beberapa waktu lalu menyebutkan, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus menurun akibat produktivitas yang lemah. Kemudian kondisi current account deficit (CAD) juga disebut semakin terpuruk, hal-hal ini dinilai akan mempengaruhi aliran modal asing yang masuk dan keluar dari Indonesia. Pemerintah pun berencana semakin melonggarkan aturan penanaman modal asing dengan merombak 72 undang-undang terkait perizinan investasi.

Melihat upaya mati-matian oleh penguasa untuk mengejar investasi asing ini menunjukkan bahwa, negeri kaya SDA ini sangat bergantung dengan modal asing. Dengan dalih, permodalan asing akan membantu mewujudkan ekonomi yang kuat dan memenuhi kebutuhan akan dana segar bagi pembangunan sejatinya adalah tipuan. Sebab, selama ini investasi asing tidak benar-benar berdampak positif bagi perekonomian rakyat, justru banyak hal yang tergadaikan demi memfasilitasi mereka, para pemodal asing.

Siapa yang diuntungkan jika semua sektor dibuka untuk investasi asing? Kepemilikan asing dibolehkan hingga lebih dari 90 persen. Asing dibolehkan melakukan repatriasi, yaitu langsung mengirimkan kembali keuntungan yang mereka dapat ke negara asal mereka.

Tidak ada makan siang gratis di sistem kapitalis. Investasi yang disepakati oleh dua negara tentu akan menuntut imbalan yang menguntungkan. Sayangnya, keuntungan bukan berpihak pada negeri ini. Bagaimana bisa menguntungkan, jika kekuatan politik dan kemandirian negeri ini telah tergadai oleh hutang luar negeri yang menggunung. Mengemis-ngemis agar asing datang berinvestasi sejatinya menunjukkan, betapa lemahnya negeri kaya raya ini.

Pinjaman (investasi asing) yang diberikan Cina contohnya, dilakukan dengan berbagai syarat seperti, adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya timbale balik hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina, hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina.

Hasil riset yang diterbitkan oleh Rand Corporation, China’s Foreign Aid and Government Sponsored Investment Activities, menyebutkan bahwa utang yang diberikan Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari Cina. Disamping keharusan membayar bunga yang relatif tinggi, Cina juga mensyaratkan agar BUMN Indonesia yang menggarap proyek-proyek yang dibiayai oleh pinjaman Cina harus bekerja sama dengan BUMN negara itu. Dengan demikian, tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur di negara ini, kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan, mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi.

Dengan ini jelas, bahwa investasi merupakan jalan bagi penjajahan asing. Bahaya mengancam ekonomi negeri ini, sebab ekonomi menjadi milik bangsa asing. Disamping itu, haluan politik dan ekonomi juga akan tunduk pada kepentingan asing. Dominasi asing atas negeri ini sudah seharusnya diakhiri, bukan difasilitasi.

Mengakhiri Investasi Asing

Sungguh hal yang mustahil, jika memutus invetasi asing dengan tetap berkubang pada sistem kapitalisme. Sebab kapitalismelah yang meracuni pengaturan politik dan ekonomi negeri ini, menjadikannya sangat liberal, yang justru mewujudkan neoliberalisme dan neoimperialisme di negeri yang harusnya merdeka ini.

Alternatif satu-satunya yang harus ditempuh agar terbebas dari dominasi asing adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Sistem Islamlah yang akan mewujudkan kemandirian politik dan ekonomi bangsa. Dengan pengelolaan ekonomi syariah, pemasukan untuk APBN akan secara rutin diperoleh melalui pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Melalui pengelolaan secara mandiri SDA yang merupakan bagian dari kepemilikan umum seperti barang-barang tambang, akan mampu menutup kebutuhan negara yang besar, tanpa harus bergantung dengan investasi asing. Dengan demikian, akan menjauhkan negeri ini dari jebakkan perjanjian asing yang merugikan dan bertentangan dengan syariah Islam. Wallahu a’lam bishshowaab

Eka Muliasari
(Penulis Bela Islam, member AMK)

Artikel Terkait

Back to top button