Berislam secara Kaffah
Membenarkan akidah Islam maknanya adalah membenarkan seluruh akidah Islam, baik membenarkan keberadaan Allah dengan seluruh sifat-sifat-Nya serta asmaul husna-Nya; membenarkan keberadaan para malaikat ciptaan Allah dan seluruh nama maupun tugas-tugasnya; membenarkan Al-Qur’an dan kitab-kitab samawi terdahulu seperti Taurat, Zabur, Injil, dan shuhuf Ibrahim, serta meyakini bahwa Al-Qur’an sebagai batu ujian bagi kitab-kitab terdahulu; membenarkan kebaradaan para Nabi dan Rasul utusan Allah SWT terdahulu sejak Adam a.s. sampai dengan Nabi Isa a.s. dan membenarkan Nabi Muhammad Saw Rasulullah yang sebagai penutup para Nabi dan Rasul (khatamul anbiya wal mursalin) dan syariatnya menghapuskan syariat terdahulu; membenarkan keberadaan hari akhirat, yakni hari hancurnya seluruh alam semesta, lalu diciptakannya alam yang baru, dan bangkitnya manusia dari quburnya, serta hari pengumpulan di padang mahsyar, perhitungan dan penimbangan amal manusia, hingga ditentukan apakah di masuk ke dalam surga al jannah atau ke dalam neraka jahannam; serta membenarkan ada taqdir Allah SWT yang baik maupun yang buruk dan rida atas qadla Allah SWT.
Membenarkan syariat Islam berarti membenarkan seluruh hukum-hukum Allah SWT yang mengatur hubungan manusia dengan Allah al Khaliq, hukum-hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, maupun hukum-hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Hukum-hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Al Khaliq meliputi hukum-hukum syariat dalam masalah akidah seperti larangan syirik dan larangan murtad, maupun hukum-hukum syariat dalam masalah ibadah seperti wajibnya shalat lima waktu, shaum Ramadhan, membayar zakat, haji, maupun jihad fi sabilillah. Termasuk di dalamnya adalah sunnahnya membaca Al-Qur’an, berzikir, dan bershalawat, serta larangan membuat syariat baru alias bid’ah, larangan syirik dalam ibadah, dan larangan riya’ dalam ibadah.
Hukum-hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi hukum-hukum syariat tentang makanan dan minuman seperti haramnya minuman keras dan babi, hukum syariat tentang pakaian dan aurat seperti wajibnya wanita berjilbab dan haramnya membuka aurat bagi pria maupun wanita, serta hukum-hukum tentang akhlak seperti wajibnya jujur dan haramnya dusta.
Hukum-hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya meliputi hukum-hukum syariat dalam muamalah dan uqubat. Hukum-hukum muamalah seperti hukum jual beli, sewa menyewa, akad kerja, dan hukum-hukum ekonomi makro seperti kewajiban negara mengelola harta pemilikan umum (al milkiyyah al ‘aammah) seperti laut, sungai, jalan, hutan, maupun tambang-tambang besar. Juga syariat Islam mewajibkan penguasa melakukan perimbangan ekonomi agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja (QS. Al Hasyr 7).
Adapun hukum-hukum syariat dalam masalah uqubat (pidana) meliputi hukum-hukum hudud, hukum jinayat, hukum ta’zir, dan hukum mukhalafat. Hukum hudud artinya hukum pidana dimana jenis pelanggaran dan hukumannya telah disebutkan dalam nash syara’ seperti had potong tangan untuk pencuri, had jilid 100 kali untuk bujangan atau gadis yang berzina, had rajam untuk pria dan wanita yang sudah menikah yang berzina.
Hukum-hukum jinayat adalah hukum pidana untuk pelanggaran fisik yakni hukum qishash atau diyat, seperti hukuman mati atau diyat (tebusan) 100 ekor unta untuk pembunuhan yang disengaja.
Hukum ta’zir adalah hukum pidana dimana jenis pelanggarannya disebut dalam nash syara’ namun sanksi hukumnya tidak disebut, artinya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Misalnya, kebohongan dan pengkhianatan seseorang kepada orang lain bisa dihukum dengan hukuman denda, kurungan, atau kerja paksa. Korupsi pejabat bisa dihukum oleh hakim dengan hukuman penjara, kerja paksa, atau kalau terlalu besar bisa dikenakan hukuman seumur hidup bahkan bisa hukuman mati.
Dalam menghukumi perkara yang dihadapkan kepadanya para hakim (qadli) wajib memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu… (QS. Al Maidah 49).
Ayat di atas memastikan bahwa hukum syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya berlaku tidak hanya untuk umat Islam saja, tapi juga berlaku untuk umat lainnya.
Hal itu juga memberikan pengertian bahwa kekuasaan untuk menjalankan hukum secara legal formal di tengah-tengah masyarakat harus di tangan orang-orang mukmin agar tidak terjatuh dalam hukum jahiliyah (QS. Al Maidah 50). Wallahua’lam!
Muhammad Al Khaththath