TELADAN

Bersedekahpun Jangan Berlebihan

Sedekah merupakan perbuatan terpuji, namun Rasulullah Saw dengan rasa kasih sayang mengatur kecintaan seorang muslim dalam berinfak dengan aturan kasih sayang, kelembutan, dan kemudahan. Sampai-sampai beliau melarang sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam bersedekah.

“Ini yang selamanya saya yakini tidak ada dalam suatu peraturan manapun di dunia,” ungkap cendekiawan Mesir, Prof.Dr. Raghib As-Sirjani dalam artikelnya yang diterbitkan Islamstory.com.

Dosen kehormatan di Fakultas Kedokteran Universitas Cairo ini lantas mengutip sejumlah kisah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw ketika mendapati para sahabat yang hendak bersedekah namun dinilai terlalu berlebihan.

Ketika Ka’ab bin Malik merasa bersalah karena tidak ikut bersama pasukan muslimin ke Perang Tabuk, dia ingin menebus kesalahannya dengan menyedekahkan seluruh hartanya. Ka’ab bin Malik berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu bukti dari tobatku adalah dengan melepaskan diriku dari seluruh hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda: “Tahanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu.” Ia berkata, “Saya menahan saham saya yang ada di Khaibar.” (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Hibban).

Rasulullah dalam kisah ini lebih sayang kepada Ka’ab bin Malik daripada rasa sayang Ka’ab kepada dirinya sendiri. Beliau juga lebih sayang kepada keluarga Ka’ab lebih dari kasih sayang Ka’ab kepada mereka. Beliau tahu bahwa dorongan perasaan ini adalah hasil dari pengakuan tobatnya kepada Allah.

Beliau melarang Ka’ab untuk mengambil keputusan yang mungkin saja berpengaruh negatif baginya di masa depan, membawanya kepada penyesalan dan membuat dirinya miskin dan membutuhkan. Semua ini tidak bisa diterima dan tidak baik. Rasulullah dengan kasih sayang yang luas dapat mengetahui semua kemungkinan ini, sehingga beliau pun melarangnya.

Ketika Sa’ad bin Abi Waqash sakit keras, ia menyangka ajalnya akan datang. Ketika itu ia ingin menyedekahkan seluruh hartanya. Bagaimanakah sikap Rasulullah dalam hal ini?

Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ”Rasulullah menjengukku karena sakit keras yang menimpaku saat haji Wada’. Aku berkata, ‘Engkau sudah melihat apa yang aku alami, sementara aku adalah seorang yang mempunyai harta dan tidak ada yang menjadi ahli warisku kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku bisa bersedekah dengan dua pertiga hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau separuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau sepertiga?’ Beliau menjawab:“Sepertiga itu banyak. Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia. Tiadalah engkau menafkahkan sesuatu dengan mengharap pahala dari Allah maka engkau akan diberi pahalanya sampai apa yang engkau masukkan ke dalam mulut istrimu sendiri’.” (Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Malik).

“Sungguh ini adalah sebuah aturan yang baku!,” kata penulis buku “Al-Rahmah fî Hayâti Al-Rasûl” itu.

Menurut Profesor Raghib, walaupun umat ini sangat memerlukan harta, namun kasih sayang menetapkan agar setiap muslim menahan sebagian hartanya. Terbukti dalam kisah di atas, Sa’ad menentukan dua pertiga untuk diinfakan di jalan Allah, namun beliau hanya mengizinkan sepertiga saja dan menjelaskan bahwa itu sudah banyak. “Artinya, bila Anda menginfakkan kurang dari itu maka tidak apa-apa. Bahkan Anda sudah terpuji dan akan mendapatkan ganjaran pahala,” ungkapnya.

Rasulullah Saw juga menjelaskan dengan indah di akhir hadits bahwa sesuap makanan yang Anda masukkan ke mulut istri Anda adalah sedekah yang diterima. Di sini beliau menerangkan bahwa sedekah yang diberikan untuk keluarga tidaklah tercela. Sebaliknya, hal itu sebuah kewajiban besar dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Seorang mukmin tidak boleh lalai dalam hal ini.

Rasulullah bersabda: “Satu dinar yang kau sedekahkan di jalan Allah, untuk memerdekakan budak, untuk menyantuni orang miskin, dan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu sedekahkan untuk keluargamu.”(HR Muslim, Ahmad).

“Adakah sesuatu yang lebih sesuai dengan fitrah manusia dari pada hal ini?,” pungkas Prof Raghib, seorang dokter yang ahli sejarah itu.

[Shodiq Ramadhan]

Artikel Terkait

Back to top button