Buku “Tokoh-Tokoh Islam” Ini, Sayang Bila Dilewatkan
Tentang KH Hasyim Asyari, penulis buku “Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah” ini menceritakan,
“Mulailah Hasyim belajar mencari ilmu di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), dan Pesantren Kademangan di Bangkalan (Madura). Di pesantren-pesantren itu, Hasyim dikenal sebagai santri yang cerdas, pemberani dan hormat pada guru-gurunya.
Hingga suatu kali ada kejadian yang menggemparkan. Yaitu suatu hari, cincin dari Nyai Kholil –istri Kiyai Kholil Kademangan- jatuh di tempat kotoran manusia yang menjijikkan. Tidak seorang santripun berani untuk mengambilnya, karena jijik, kotor dan najis. Hanya Hasyim yang berani turun untuk mencarinya. Kawan-kawannya memperingatkan dan mencemoohnya tapi Hasyim tidak peduli. Setelah lama-lama mengobok-obok tempat itu, akhinya Hasyim menemukannya. Cincin itu dibersihkannya dan kemudian diserakannya kepada Nyai Kholil.
Setelah melanglang buana ke beberapa pesantren, Hasyim akhirnya kembali ke Pesantren Gedang. Tapi tidak lama mengajar di tempat ayahnya itu, ia kembali ingin mencari ilmu di tempat yang jauh. Kali ini kakeknya menunjukkannya ke Demak, Pondok Pesantren Darat milik KH Saleh Darat.”
Tentang KH Wahid Hasyim, Nuim Hidayat menulis, “Kami mendengar Gus Wahid akan diangkat menjadi menteri, bagaimana itu? tanya seseorang. “Wa maa tadri maadzaa taksibu ghodan…” orang bisa beramal banyak dan bermanfaat di mana saja, sekalipun tidak menjadi menteri. Kebanyakan orang menganggap jabatan menteri itu kehormatan dan kemuliaan, padahal itu tak lebih dari sekadar amanat yang harus dipertanggungjawabkan,” kata Gus Wahid.
Ya. Gus Wahid, Wahid Hasyim menganggap jabatan menteri agama adalah amanat yang berat. Bukan untuk gengsi-gengsian atau pamer jabatan.
Dalam pesannya kepada generasi muda, Hasyim menyatakan,“Perjuangan bersenjata melawan Belanda akan segera berakhir hanya memerlukan beberapa tahun saja, dan kita akan menang, insya Allah. Tetapi perjuangan yang lebih lama dari itu adalah perjuangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan pembangunan akhlak. Perjuangan itu akan berlangsung lama, memerlukan kebijaksanaan dan kesabaran.” (Lihat jejakislam.net)”
Tentang Haji Agus Salim, penulis kolom suaraislam.id ini menceritakan,
“Kuliah di Cornell University berlangsung antara Januari sampai dengan Juni 1959. Ada 31 topik perkuliahan yang diberikan, diawali kuliah tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, diakhiri dengan pembahasan periode Nabi Muhammadi di Madinah (622-632M).
Selama hidupnya, karena ketekunannya Salim berhasil menguasai banyak bahasa asing, diantaranya: Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Karena kepintarannya, Salim akhirnya diangkat menjadi penerjemah Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Di Saudi, terutama di Mekkah, ia mendalami ilmu agama dengan pamannya Syekh Ahmad Khatib, yang saat itu juga menjadi imam di Masjidil Haram.