Bunga Bank adalah Riba yang Diharamkan
Sebelum kita mengetahui apakah bunga bank termasuk riba yang diharamkan, ada baiknya kita mengetahui definisi riba dan juga bunga bank. Riba menurut bahasa berarti tambahan (ziyadah). Sedangkan secara Istilah, riba adalah tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjam (barang atau uang) dengan tempo atau batas waktu. (Ali As Shabuni, Tafsir Ayat al Ahkam, Jilid I).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa No. 1 Tahun 2004 Tentang Bunga mendefinisikan riba sebagai tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan bunga diartikan dalam fatwa tersebut sebagai tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di perhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Secara garis besar riba dibagi menjadi dua macam: riba nasi’ah dan riba fadhl. Riba nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan, yang diambil oleh pihak yang memberikan hutang (kreditor) dari orang yang berhutang (debitor) karena adanya tempo. Syaikh Ali As Shabuni menjelaskan bahwa jika seseorang menghutangi uang dalam jumlah tertentu, misalnya sebulan atau setahun, dengan syarat berbunga sebagai imbalan batas waktu yang diberikan itu, maka sudah tergolong riba nasi’ah. Jenis riba inilah yang menurut Ali Ash Shabuni, saat ini tengah berlaku di bank-bank, koperasi dan berbagai lembaga keuangan lainnya.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah menjual uang dengan uang, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, jewawut dengan jewawut atau garam dengan garam disertai dengan adanya tambahan. Atau dengan kata lain riba fadhl adalah jika seseorang menukarkan barangnya yang sejenis dengan suatu tambahan.
Apapun jenis riba dan berapapun jumlahnya (besar atau kecil) telah diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Keharaman riba secara umum telah dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya:
“Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah menghalal¬kan jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (se¬belum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (meng¬ambil riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah [02]: 275).
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [02]: 278-279)
Rasulullah Saw juga melarang praktik riba. Dari Jabir r.a., ia berkata : “Rasulullah Saw melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, harus sama dan tunai. Siapa saja yang menambah atau minta ditambah, sesungguhnya ia telah berbuat riba; yang mengambil dan yang memberi sama saja.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, 3/49)
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Bunga bank, koperasi, pegadaian, asuransi, pasar modal dan lembaga keuangan lainnya (termasuk pinjaman berbunga antar-individu) termasuk dalam katagori riba, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktik pembungaan dan penggunaannya secara qath’iy (pasti) diharamkan.
Bunga bank, koperasi, pegadaian, asuransi, pasar modal dan lembaga keuangan lainnya (termasuk pinjaman berbunga antar-individu) termasuk dalam katagori riba, yakni riba nasi’ah.
Oleh karena itu sebagai seorang muslim kita wajib untuk meninggalkan semua praktik muamalah yang berbasis riba. Sebagai solusinya segeralah beralih ke sistem muamalah yang syar’i, baik melalui lembaga keuangan syariah maupun individu yang sesuai dengan syariah. Wallahu a’lam bishawab. []