Catatan Hari Pancasila: Berbahaya Jika Pemerintah Salahgunakan Pancasila
Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini, 1 Juni 2021, seharusnya bisa jadi momentum menjahit kebersamaan, solidaritas, dan juga gotong royong di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang belum juga usai. Agar bisa bertahan, dan kelak bisa bangkit kembali, kita memang sangat membutuhkan kerja sama seluruh anak bangsa. Tak mungkin kita bisa bertahan dan bangkit jika tidak bekerjasama.
Di sinilah posisi Pancasila sebagai dasar negara, yang bersifat mempersatukan kebhinekaan, memainkan peranannya. Pancasila, sebagaimana disusun para pendiri bangsa, memang dimaksudkan sebagai alat perekat, bukan alat pemecah belah, apalagi alat untuk mengekslusi suatu golongan. Sayangnya, tahun ini kita memperingati hari lahir Pancasila masih dengan keprihatinan.
Kita menyaksikan polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap calon ASN (Aparatur Sipil Negara) KPK berminggu-minggu dan belum usai hingga kini. Pelantikan ASN KPK dipilih hari simbolik, yaitu 1 Juni 2021, hari Pancasila. Ada apa dengan wawasan kebangsaan kita? Jangan sampai TWK jadi alat tunggal pengukur kadar “kebangsaan” dan “Pancasilais” seseorang, calon ASN atau siapapun dalam profesi apapun. Sejumlah pertanyaan dalam TWK justru mengganggu ikatan kebangsaan.
Dalam kasus ASN KPK, kita pantas bertanya-tanya: apakah “integritas” dan “kompetensi” bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila? Mereka yang gugur dalam TWK adalah orang-orang yang dikenal punya rekam jejak baik pada institusi yang sama.
Pancasila tentu saja tak mungkin anti-integritas dan anti-kompetensi. Sehingga, penjelasan atas peristiwa tadi hanya satu, bahwa Pancasila kini telah dijadikan alat politik untuk mengubur sikap kritis demi menjaga kepentingan kekuasaan atau oligarki.
Jika sebelumnya yang sering dibungkam adalah kelompok “Islam” dan ormas tertentu yang bersikap oposan terhadap Pemerintah, maka kini pembungkaman telah merambah ranah lain, yaitu institusi termasuk institusi pemberantasan korupsi. Ironisnya, semua pembungkaman itu dilakukan dengan satu dalih, yaitu “Pancasilaisme”, dan menggunakan stigma seperti “radikal” atau “Islam garis keras”.
Pemberian stigma “Taliban”, atau dengan kata lain Islam garis keras adalah salah satu contoh yang bertentangan dengan wawasan kebangsaan. Serangan itu tentu saja memprihatinkan. Sebab, orang-orang yang disebut “Taliban” itu banyak di antara mereka adalah non-Muslim, seperti beragama Kristen, Katolik, atau Budha. Cukup jelas, serangan itu hanya dimaksudkan untuk melahirkan sentimen negatif.
Kasus yang terjadi di KPK ini memang perlu mendapat perhatian lebih. Sebab, jika TWK ini berhasil menjadi pola, maka brutalnya tata kelola ekonomi dan manajemen APBN di tengah pandemi sudah pasti bakal kian tak terkendali.
Saat ini, misalnya, publik tak lagi bisa mengontrol laju pertambahan utang Pemerintah. Dengan dalih pandemi, dan berbekal Perppu No. 1 Tahun 2020, kontrol terhadap defisit kini telah dilepas. Imbasnya, posisi utang Pemerintah hingga April 2021 telah berada di angka Rp6.527,29 triliun, atau setara dengan 41,18 persen PDB (Produk Domestik Bruto). Hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejumlah ekonom memperkirakan jumlah utang bisa menembus Rp10 ribu triliun. Tetapi, jangankan sense of crises, para pengambil keputusan di bidang ini malah kelihatan biasa saja, seolah tak sedang terjadi apa-apa.
Contoh paling konkret adalah apa yang terjadi di lingkungan BUMN. Sungguh tragis, di tengah kabar ambruk dan kronisnya persoalan yang membelit sejumlah BUMN papan atas, kita menyaksikan Pemerintah malah mempertontonkan tata kelola perusahaan yang kian tidak profesional. Jabatan-jabatan strategis di BUMN, misalnya, diumbar ke para pendukung dan relawan, yang kompetensi mereka sebenarnya tak berhubungan sama sekali dengan core business perusahaan.
Bagaimana Menteri BUMN mau bicara soal “Akhlak” sebagai core values BUMN, jika pemilihan komisaris dan direksi BUMN-nya tidak profesional?
Hal-hal semacam itulah yang telah membuat Pemerintah jadi tidak memiliki kredibilitas ketika menjajakan wacana Pancasila. Tak heran, meminjam survei LSI (Lingkaran Survei Indonesia) pada tahun 2018, dalam rentang waktu 13 tahun, sejak 2005, masyarakat yang pro terhadap Pancasila tercatat mengalami penurunan sekitar 10 persen. Pada 2005, masyarakat yang pro terhadap Pancasila ada di angka 85,2 persen, sementara pada tahun 2018, angkanya menurun menjadi 75,3 persen.