OPINI

Chinaisasi Nyala Listrik

Kasus blackout PLN yang melanda daerah DKI Jakarta, Banten dan Jabar pada Ahad, 4/7/2019, menuju babak baru. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk tidak terlalu banyak terlibat dalam pembangunan-pembangunan listrik. Hal tersebut agar PLN lebih efisien dengan membiarkan private sector (asing/swasta) bermain dalam pembangunan listrik.

Permintaan ini disampaikan dalam rapat bersama antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Plt Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sripeni Inten Cahyani di Kantor Kemaritiman Jakarta, 14/8/2019. Rapat tersebut dilaksanakan sebagai respon terhadap kasus blackout PLN. (okezone.com, 14/7/2019).

Dua hari pasca rapat tersebut, seolah berkaitan dengan permintaan Luhut. Pelaksanaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Kayan, Kalimantan Utara (Kaltara) resmi ditandatangani PT Kayan Hydro Energy dengan China Power, di Kantor Staf Presiden (KSP), Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (15/8).

Proyek PLTA Sungai Kayan merupakan proyek listrik 9.000 megawatt yang dibangun di atas lahan 12.000 hektare. Proyek ini diinisiasi oleh PT Kayan Hydro Energy sejak 2009 yang bekerja sama dengan China Power. Dimana kontrak kerjasamanya telah ditandatangani sejak 31 Oktober 2018. (cnnindonesia.com, 16/7/2019).

Sementara di media sosial juga viral beredar foto dokumen penawaran tender dengan nama proyek PT. Shenhua Goahua Pembangkitan Jawa Bali. Meski validitasnya sulit dilacak, banyak pihak yang menduga bahwa kasus blackout PLN berkaitan dengan rencana pemerintah melego PLN dan mengokohkan liberalisasi sektor listrik.

Permintaan Luhut kepada PLN, agar asing/swasta lebih banyak porsi dalam sektor kelistrikan. Senada dengan permintaan Menkeu Sri Mulyani agar BUMN tidak mendominasi dalam pembangunan infrastruktur. Langkah kedua menteri ini jelas mudah ditebak kemana arahnya. Tidak lain untuk menyempurnakan liberalisasi ala Kapitalisme atas negeri ini.

Kasus blackout PLN seolah menjadi skenario untuk mewujudkan legitimasi publik buruknya pelayanan PLN. Di satu sisi, membuka lebar pintu bagi pihak asing/swasta bermain di sektor listrik. Hal ini semakin dipandang urgent di tengah PLN yang didera masalah. Utang yang terus menumpuk, inefisiensi, dan mismanajemen menjadi isu yang terus menerpa tubuhnya. Akhirnya PLN harus legowo mundur selangkah, atau sahamnya dilego sembari membiarkan pihak asing/swasta melakukan bisnis ini dengan lebih profesional karena punya modal lebih besar.

Maka, masuknya perusahaan listrik China jelas menjadi sinyal buruk dalam pelayanan listrik negara kepada rakyat. Tidak hanya semakin liberal, tapi juga semakin komersial. Dan dapat dipastikan beban masyarakat semakin berat dengan semakin mahalnya harga listrik. Sebab negara yang menganut ekonomi kapitalis liberal menjadikan untung rugi sebagai standar pelayanan rakyatnya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button